Metro Times (Kendal) Anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar dan proposional baik secara hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Anak adalah buah hati Orang tua yang harus dididik, dibina dan dilindungi. Negara akan tangguh dan kuat bila anak-anak masa kini dapat bertumbuh kembang secara baik dan berkualitas serta terlindungi dari berbagai bahaya yang mengancam kehidupannya.
Eksploitasi seksual anak adalah pelanggaran dasar hak anak. Seorang anak adalah korban eksploitasi seksual saat dia berpartisipasi dalam aktivitas seksual dengan imbalan sesuatu, uang atau barang dari pihak ketiga, pelaku atau oleh anak itu sendiri.
Menurut Dra. Sri Danti Anwar, MA., Staf Ahli Bidang Pembangunan Keluarga KPPPA menuturkan, eksploitasi merupakan tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, diantaranya tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum, memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materi maupun materiil.
“Perkembangan internet di Indonesia sangatlah pesat, yaitu tumbuh 51 persen dalam kurun waktu satu tahun. Pengguna internet usia 13-18 tahun 75,50 persen, usia 19-34 tahun 74,23 persen. Jadi anak merupakan paling dominan sebagai pengguna internet, maka kerentanan mereka terdampak negatif dari penggunaan internet cukup tinggi, apa bila literasi mereka tidak dimampukan secara memadai,” ungkapnya saat dalam kegiatan diskusi teamtik di Operation Room 2 Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Senin (22/4).
“Deretan kasus ekploitasi seksual terhadap anak berbasis siber/online terus terjadi dengan berbagai pola dan mudusnya. Kasus terbaru eksploitasi seksual anak melalui Facebook di Jambi menelan 87 korban (korban tersebar di Surabaya, Semarang, Bandung, Riau dan Palembang). Sebelumnya terjadi juga di Bandung, seorang anak laki-laki dieksploitasi oleh perempuan, berawal dari media sosial yang di pesan oleh warga negara asing. Dan kasus Dia M, anak jalanan menjadi korban ekploitasi seksual oleh warga negara asing karena di tawarkan oleh mucikari media sosial,” terang Sri Danti.
Staf Ahli Bidang Pembangunan Keluarga KPPPA tahun 2019 tersebut juga mengatakan, bahwa kasus-kasus ekploitasi seksual, baik online dan offline sering kali tidak terlaporkan karena malu, dipandang aib, didiamkan dan kendala akses terhadap lembaga, layanan dan lain-lain sebagainya. Trend kasus tahun 2016-2017 menunjukkan bahwa kasus pornografi dan kejahatan siber menempati urutan ke-3 setelah ABH pengasuban alternatif (data KPAI 2017) dan data KPI awal tahun 2018 menunjukkan bahwa anak korban eksploitasi seksual didominasi anak laki-laki.
“Pelaku eksploitasi anak biasanya melibatkan orang yang di kenal korban, bahkan 30 persen adalah anggota keluarga anak (paling sering adalah anggota laki-laki, ayah, paman dan sepupu), 60 persen adalah kenalan lainnya seperti teman dari keluarga, pengasuh dan tetangga. Dan 10 persen adalah orang di luar keluarga seperti guru atau pelatih,” ungkapnya.
Sementara, Kepala DP2KBP2PA Kendal, Asrifah berharap diskusi tematik yang digelar dapat memberikan kontribusi positif bagi Kabupaten Kendal, terutama dalam pemahaman mengenai Eksploitasi seksual anak berbasis siber.
“Kemajuan zaman yang terjadi saat ini sangat pesat. Hal ini memiliki dampak negatif dan positif bagi perkembangan di tengah masyarakat. Jika tidak disikapi dengan bijak maka perkembangan ini bakal menjadi bumerang, khususnya di kalangan generasi muda yang bisa memberikan kerugian bagi perkembangan bangsa,” katanya.
Dikatakan, kegiatan diskusi tematik ini akan menjadi modal untuk mendapatkan banyak informasi terkait kasus-kasus pelecehan anak melalui internet.(Gus)