Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak bersama Ratusan anak dan Guru PAUD mengkampanyekan STOP Gaway dan Games Online di Bundaran HI akhir November 2019
- iklan atas berita -

PEMERINTAH DAERAH ABAI TERHADAP INPRES NO. 05 TAHUN 2014 TENTANG GN-AKSA
(Mendagri memberikan waktu 3 bulan untuk Walikota, Bupati dan Gubernur membentuk UPTD dan alokasi dana untuk Perlindungan anak dan Perempuan)

METROTIMES, JAKARTA –  Komisi Nasional Perlindungan Anak.(KOMNAS PA) sebagai lembaga independen yang didirikan pemerintah tahun 1998 yang diberikan tugas dan fungsi sebagai pelaksana tugas dari Kumpulan Lembaga Perlindungan Anak se-jagat raya untuk melakukan pemantauan, pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia, menyambut baik dan mendukung secara penuh gagasan dan amanat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam rangka percepatan memberikan layanan anak dan perempuan diberbagai daaerah serta dalam rangka memutus mata rantai kejahatan Seksual terhadap anak.

Oleh sebab itu, Komnas Perlindungan Anak dan seluruh jajaran Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang ada di 179 Kabupaten, kota dan propinsi menyambut baik visi dan missi serta nawacita bapak Presiden yang disampaikan Presiden dalam Ratas para Menteri terkait dan lembaga untuk menyikapi maraknya kasus-kadus kejahatan terhadap anak dan perempuan di Indonesia serta mendorong dan menjadikan anak Indonesia sebagai anak yang mempunyai SDM unggul di masa depan.

Namun sayangnya, Sejak Instruksi Presiden INPRES) Nomor : 05 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual Terhadap Anak (GN-AKSA) belum berjalan dan bahkan masih diabaikan pemerintah Kabupaten, Kota dan propinsi. Inilah salah satu kendala dimana tidak ada kemauan politik ( “political will”) dari para pejabat yang telah diberikan kewenangan mengelolah pemerintahan baik di daerah maupun di Pusat.

Padahal INPRES ini mewajibkan memfasilitasi berdirinya Rumah Aman bagi anak sebagai saksi dan korban serta menyediakan anggaran yang cukup untuk kegiatan perlindungan anak yang dialokasikan kedalam anggaran daerah dan nasional.

Sesuai dengan amanat dari ketentuan pasal 22 UU RI Nomor :35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang berbunyi ” negara, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan dukungan sarana prasarana dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak, Walikota, Bupati dan Gubernur berkewajiban menyediakan anggaran, sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusai (SDM) bagi lembaga perlindungan anak, organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi-organisasi sosial anak lainnya.

ads
Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak

Oleh sebab itu, bersesuai dengan amanat UU RI Nomor : 35 Tanun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor : 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan serta Inpres Nomor 05 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap anak adalah sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk melindungi anak dari tindak kekejaman dan dari segala bentuk perampasan kemerdekaan dan hak hidup anak, kekerasan serta penyiksaan.

Lebih lanjut Arist mengkhawatirkan, jika keadaan anak Indonesia tidak cepat dilakukan penanganannya maka bagsa bisa kehilangan generasi (lost generasi) dan jati dirinya sebagai bangsa beradat dan beradab.

Tengok saja memasuki minggu ketiga Januari dua puluh dua puluh (2020) berbagai kasus kasus kejahatan seksual bergerombol (gengRAPE) diberbagai daerah tak henti-hentinya terjadi.

Di pada Minggu Pertama 2020 di Sukabumi telah terjadi kejahatan seksual dalam bentuk sodomi terhadap 15 anak usia dibawah 10 tahun.

6 orang 2 diantara masih usia anak di Garut juga melakukan kejahatan seksual dengan cara bergerombol terhadap seorang siswi kelas I SMP setelah dipaksa minum alkohol dan obat-obatan .

Kemudian seorang guru di Malang melakukan perbuatan cabul terhadap 40 muridnya yang masih duduk di bangku SD dengan cara sodomi, lalu seorang pengasuh Ponpes di Jawa Timur diduga melakulan kejahatan seksual berulang-ulang dengan ancaman kekerasan terhadap santrinya.

Sedang menjadi perbincangan masyarakat dimana ditemukan kasus
11 anak menjadi korban predator seks di Tulung Agung dimana kedua kasus ini sedang diambil alih Polda Jawa Timur untuk penanganannya, demikian juga 4 kasus kejahatan seksual bergerombol yang terjadi di wilayah hukum Polres Tobasa, Sumatera Utara di Kawasan Danau Toba (KDT) dan satu kasus gengRAPE di Pulau Samosir.

Belum lagi berbagai kasus kerusakan mental dan jiwa anak akibat ketergantungan Gaway, Gajet dan game online serta Pornogtafi.

Demikian juga, diprediksi di tahun 2020, maraknyanya perkawinan usia anak di berbagai daerah, anak dipaksa kawin kontrak dengan warga negara asing serta kasus kawin pesanan anak ke luar negeri serta kasus-kasus eksploitasi untuk tujuan seksual komersial dan pemanfaatan tenaga anak untuk ekonomi alternatif keluarga (pekerja anak) akan terus ditemukan.

Perdagangan dan penculikan anak serta anak terpapar dengan HIV dan AIDS, bahaya narkoba dan zat adiktif lainnya, juga akan menjadi masalah serius yang dihadapi anak Indonesia.

Yang miris lagi, masih diawal bulan ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan sebuah tayangan video dari Salah satu SD di Yogjakarta yang memperagakan TEPUK PRAMUKA untuk menanamkan paham rafikalisme dan ujaran kebencian yang, demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Indonesia dalam keterangan pers menanggapi amanat Menteri Dalam Negeri hasil dari Rapat Terbatas (Ratas) para menteri terkait dan lembaga negara yang dilakukan di Istana Presiden Minggu pertama di bulan Januari 2020 ini.

Untuk itulah, Menter Dalam Negeri Prof H.M Tito Karnavian PhD akan menggalakkan peranan Pemda di dalam memberikan perlindungan anak dan perempuan dari tindak kekerasan, hal itu dikatakannya di Jakarta Senin 20 Januari 2020 lalu.

Perempuan dan anak adalah kelompok masyarakat paling rentan terhadap kekerasan baik itu fisik, verbal maupun kekerasan psikologis serta kekerasan seksual. Mereka harus dilindungi.

Tugas pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk melindungi kelompok rentan ini agar mereka terbebas dari ancaman kekerasan baik bersifat domestik maupun dari lingkungannya tegas Mendagri Tito yang juga merupakan mantan Kapolri tersebut.

Sebagaimana diketahui upaya dan langkah Gubernur, Bupati Walikota beserta jajarannya di dalam perlindungan anak dan perempuan terhadap kekerasan masih sangat minim. Hal ini terbukti dari terbatasnya Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) sebagai lembaga pelaksanaannya hanya berjumlah 98 UPTD atau 17% dari 548 Kabupaten, Kota dan Provinsi yang ada di seluruh Indonesia. Artinya 82% dari total 548 pemerintah daerah kabupaten dan kota dan provinsi belum memiliki instrumen kelembagaan, anggaran dan personalia untuk melakukan program pencegahan Penanganan dan perlindungan anak dan perempuan yang merupakan korban kekerasan.

Data diatas cukup memprihatinkan karena itu Mendagri akan memberi tenggat waktu 3 bulan kedepan agar seluruh Pemda membentuk UPTD Perlindungan Anak dan perempuan di wilayahnya masing-masing bersifat kelembagaan dilengkapi dengan sistem anggaran, personalia dan sarana prasarana guna menjalankan sebuah program di daerah.

Tiga bulan cukup, saya akan keluarkan surat edaran untuk pembentukan UPTD. Nanti saya akan kerahkan juga Direktorat yang relevan dan inspektorat Jenderal di jajaran Kemendagri untuk membina dan mengawasi Pemda agar benar-benar membentuk dan menjamin unit tersebut operasional lanjut Mendagri.

Secara detail indikator minimum atas ini adalah tersedianya sarana misalnya rumah aman bagi korban kekerasan di setiap kabupaten kota Provinsi Serta adanya berbagai upaya sosialisasi penjagaan

Dalam rapat terbatas kabinet Minggu kemarin presiden telah menekankan pentingnya program perlindungan ini seiring dengan prioritas visi misi presiden di dalam mengembangkan SDM unggul kata Mendagri.

Kementerian Dalam Negeri yang merupakan Pembina dan pengawas jalannya roda penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah merasa berkewajiban mendorong Pemda untuk serius melakukan program ini di daerahnya masing-masing.

Perlindungan dan pencegahan anak dan perempuan dari tindak kekerasan merupakan hal yang sangat elementer untuk meningkatkan kualitas SDM yang unggul, bukan saja hanya aspek recovery (pemulihan) yang kita tekankan kepada Pemda dalam program ini, namun juga aspek pencegahan nyadan deteksi dini termasuk iklim sosiologi di masyarakat agar masyarakat semakin ramah terhadap kelompok rentan yakni anak dan perempuan, pungkas Mendagri. (HP/RLS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!