Kedelai
- iklan atas berita -

SURABAYA – Indonesia masih ketergantungan terhadap kedelai impor. Harga yang kompetitif menjadi alasannya. Sebelum naik, harga kedelai impor dikisaran Rp 6.500 sampai Rp 7000 per kg. Sedangkan kedelai lokal antara Rp 8.000 sampai Rp 9.200 per kg.

Kini, produsen tempe dan tahu menjerit. Harga kedelai impor naik menjadi Rp 9.200 hingga Rp 10.000 per kg, sehingga mereka harus mengeluarkan tambahan biaya produksi. Tak ayal, sebagian produsen tempe dan tahu sempat memilih untuk mogok produksi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, impor kedelai sampai semester I tahun 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai USD 510,2 juta, atau jika dikonversi ke rupiah sebesar Rp 7,24 triliun (kurs Rp 14.200). Lalu apa solusi mengatasi mahalnya harga kedelai impor?

Ketua Yayasan Kedaulatan Pangan Nusantara (YKPN) Jawa Timur (Jatim), Dr Ir Jamhadi, MBA, menjawabnya. Menurut pria yang pernah menjadi Ketua Kamar Dagang Dan Industri (KADIN) Kota Surabaya selama 2 periode ini, mahalnya harga kedelai impor karena terjadi ketimpangan antara demand dan supplai.

Tercatat, demand kedelai di Jawa Timur sebanyak kurang lebih 450 ribu ton, sedangkan supplai kedelai dari produksi pertanian Jawa Timur hanya sekitar 302 ribu ton. Ketimpangan antara supplai dan demand ini membuat impor kedelai jadi pilihan.

ads

“Jika kondisi normal, harga kedelai impor dikisaran Rp 6.500 sampai Rp 7.200 per kg. Tiba-tiba naik menjadi Rp 9.500 sampai Rp 10.000 per kg. Dan stok di pasaran berkurang. Padahal nilai kurs rupiah stabil di kisaran Rp14. 070 per USD. Rupanya stok kedelai impor dipengaruhi situasi global yang dinamis. Ekonomi global terkontraksi karena pandemi covid-19,” jelas Jamhadi, CEO PT Tata Bumi Raya.

Jamhadi mengatakan, kondisi stok kedelai global diperparah lagi oleh aksi borong yang dilakukan oleh China. Jika sebelumnya China hanya impor kedelai sebanyak 15 juta ton, kini mereka impor kedelai sebanyak dua kali lipat menjadi 30 juta ton.

Kondisi tersebut, kata Jamhadi, bukan tanpa solusi. Disampaikan Jamhadi, terdapat beberapa program jangka pendek, menengah, dan panjang, untuk mengatasi ketergantungan terhadap kedelai impor. Salah satunya ialah sinergi antar pihak dengan melibatkan akademisi, bisnis, komunitas, dan Pemerintah atau kerap disingkat ABCG.

Jamhadi mengajak masyarakat membiasakan diri untuk mengonsumsi makanan sejenis kedelai sebagai substitusi sehingga bisa menurunkan demand kedelai tapi kebutuhan protein tercukupi dan tubuh tetap sehat.

Pentingnya melibatkan akademisi juga disinggung Jamhadi. Katanya, akademisi bisa hadir dengan melibatkan hasil riset pertanian dengan bibit unggul dan pola tanam. Dengan demikian, di tengah keterbatasan lahan pertanian bahkan cenderung susut, tapi produktivitas meningkat, sehingga produksi kedelai meningkat dan harga produksi turun.

“Lambat laun jika itu diterapkan, maka memungkinkan Indonesia tanpa impor kedelai. Pemerintah juga harus menetapkan law enforcement dalam tata guna lahan pertanian dan tata ruang yang di arahkan ke pembangunan dengan pola vertical development. Sehingga kita bisa memenuhi kebutuhan kedelai secara swasembada tanpa menggantungkan impor yang tentu menghemat devisa. Itu solusi jangka panjang,” kata Jamhadi. (did)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!