- iklan atas berita -

 

Metro Times (Surabaya) – Mengenai pemberitaan yang lalu dengan judul “Owner dan Managemen Gunawangsa Tidar Diduga Masih Berat Menyerahkan Pengelolaan P3SRS ke Pemilik/Penghuni sesuai UU yang berlaku..”. Owner Gunawangsa memberikan klarifikasi, agar masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar dan berimbang.

Kita bisa memberikan hak jawab kita, dan kita berharap media itu bisa memberikan berita yang berimbang, edukatif, konstruktif dan tidak ada yang merugikan pihak-pihak tertentu, yang melanggar kaidah norma dari pers.

CEO Gunawangsa Group, Triandy Gunawan mengatakan, saya akan memberikan klarifikasi terkait pemberitaan kalau ada warga di apartemen Gunawangsa Tidar bahwa mereka komplain masalah IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan) dan menjelaskan masalah PPPSRS.

Lebih lanjut Triandy menuturkan, Kita punya satu cara, setiap pembangunan apabila sudah selesai, kita akan serahkan kepada pengelola yang mandiri, dalam arti kita itu sebagai pengembang sudah tidak lagi ikut-ikut, tapi bukan berarti kita tidak mengurusi. Kalau kita tidak mengurusi sama sekali, seperti kita ini jual barang terus tidak peduli after sales. Karena kalau kita tidak memanage development project kita, maka dampaknya terjadi pada penjualan proyek kami selanjutnya.
Oleh karena itu pengembang mempunyai suatu keinginan dan kepentingan untuk mengelola dengan baik, tentunya sesuai aturan norma yang sudah berlaku.

ads

“Pengembang mempunyai macam-macam tekniknya,
IPL kita Rp.12.500 per meter persegi dari luasan semi gross. IPL kita sudah paling murah se-Surabaya dibanding dengan apartemen yang ada di Surabaya, sembari menyebut nama-nama apartemen dan biaya IPLnya,” terang Triandy saat ditemui di kantornya Surabaya, Senin (4/4/2022).

Ia juga menjelaskan, Terkait listrik dan air, kita tidak mengambil keuntungan hanya sebatas menagihkan PLN. Saya ngomong sama beberapa APH, pemerintah membuat beberapa ketentuan bahwa pengembang tidak boleh mengambil keuntungan, tapi agak tidak fair. Dari 1500 unit apartemen yang ada, kami yang nagihkan ke penghuni satu persatu. Bagaimana pemerintah bisa mengatakan pengembang itu harus menagihkan PLN. Butuh tenaga untuk menagih, menghitung pemakaian, kalau ada keterlambatan ada denda sampai orang itu bayar. Semua butuh proses, proses ini dilakukan oleh manusia yang butuh biaya. Itu bisa terjadi di listrik dan air. Lalu kebersihan kita harus manage kelola.

Kami tunjuk badan pengelola dengan menunjuk kontraktor-kontraktor taman, kebersihan, security, maintenance lift dan lain sebagainya yang semua ini butuh biaya. Biaya itu ditunjang atau dibayar dengan menagih IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan).

Kalau dibilang IPL naik tanpa sosialisasi, kecuali kita ini paling mahal dari pasar, kita ini paling murah dari harga pasar.

“Kita tidak ada keuntungan kelola penghunian ini cuma kita ada keuntungan kalau dikelola orang yang tidak benar, tetapi nama kita rusak, pengembang rusak, dan kedepan kalau kita jualan orang akan ngomong, jangan beli Gunawangsa, liat proyek Gunawangsa disana rusak semua, kotor, liftnya macet, jatuh rantainya putus tidak diganti. Jualan kita kedepan tidak akan laku,” cetusnya.

“Kita tidak ada keuntungan untuk listrik dan air. Kita nagih listrik air itu flat, cuma kalau ada telat bayar, ada denda, Kalau tidak saya yang rugi. Contoh dari 1800 penghuni, misalkan 100 penghuni tidak bayar tagihan PLN ke kami tetap 1800 penghuni. Bagaimana kalau 100 ini saya tidak bayar ke PLN, maka listrik saya pasti dimatiin. Kalau dimatiin saya dikeroyok 1700 orang. Jadi kami talangi dulu, penghuni 100 yang tidak bayar ini saya denda, kalau tidak denda saya matiin listriknya. Tagihan kita tiap bulan secara satuan kwh kita tidak untung, listrik dan air, bahkan kita rugi, PLN tidak membayar kami untuk ngitung dan menagih ke penghuni. Jadi untuk membayar karyawan-karyawan yang melakukan penghitungan listrik, pengecekan, penagihan sampai dibayar ke PLN, kita butuh orang. Termasuk bayar outsourcing, clining, taman kita butuh orang. Penerangan area umum, parkirnya, pintu masuknya, lobbynya, itu lah dibayar dengan IPL,” tegasnya.

Tentang PPPSRS / P3SRS

Triandy menuturkan, sementara mengenai Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS/P3SRS) itu memang ada aturan bahwa sesuai Undang-Undang Rusun dan Penggunaannya tahun 2011 turunannya PP tahun 2021, yang artinya kita sementara ini sudah kita bentuk PPPSRS Sementara.

Sedangkan PPPSRS Definitif itu kita harus serahkan dua tahun betul, tapi dari penyerahan prima ke pemilik / penghuni. Kendalanya disetiap pengelola PPPRSR itu, di kota Surabaya belum ada Perwal penyerahan PPPSRS. Jadi bisa dibentuk tapi tidak bisa disahkan. Jadi ada kekosongan hukum.

“Pembentukan pengurusan PPPSRS itu untuk menentukan pengelolaan dan pemanfaatan ruang bersama, bagian bersama diluar bagian privat. Jadi yang berhak mengelola tentunya bukan penghuni dalam konteks menyewa, kalau penyewa dia bisa menyewa 3 bulan 6 bulan setelah itu pergi. Kalau dia berhak menentukan pengelolaan itu ya lucu,” tandasnya.

Jadi seyogyanya pengurusan pengelolaan PPPRSR itu ditentukan dan diambil suara berdasarkan pemikiran, kepentingan para pemilik.

Ia menyampaikan, ditempat kami itu tidak semua pemilik membayar lunas, ada yang masih mengangsur. Kalau yang sudah membayar lunas itu baru pemilik, karena kalau yang belum lunas, dan sewaktu-waktu gagal bayar itu bukan pemilik dan kembali ke developer.

Rencana saya kedepannya setelah ini terbentuk PPPSRS sementara, saya akan membentuk PPPSRS definitif tapi setelah penghuni itu lunas. Di tempat kita ini baru 60% itu yang lunas, dan 40% masih mengangsur. Tetap kita akan bentuk PPPSRS tapi kita berharap dari pemkot kekosongan hukum ini harus menjadi perhatian.

Namun untuk yang definitif menunggu bukan hanya PPJB tapi PPJB lunas, karena kalau tidak lunas, sewaktu-waktu misalkan, dalam Undang-Undang dinyatakan PPJB salah satu bentuk kepemilikan itu betul. Menurut saya, seseorang kita ikutkan dalam kepengurusan kepengelolaan dan dia menjabat menjadi sekretaris, tapi tiba-tiba PPJB cicilannya macet terus gagal. Dia meninggalkan unitnya karena bukan lagi pemilik, tapi sudah jadi sekretaris, bentuk PPPSRS itu ruwet harus banyak orang terlibat. Di tempat kita banyak yang gagal, apalagi masa Covid begini.

“Saya sudah pesan ke BM nanti yang menjabat harus orang-orang yang sudah AJB atau PPJB lunas. Kalau lunas tidak mungkin gagal,” ujarnya.

“Kami juga berharap sambil berjalannya waktu kita bentuk PPPSRS sementara, dan saya berharap dari pemerintah kota segera mengisi kekosongan hukum, yaitu harus ada Perwal yang mana Perwal itu mengatur tentang cara dan siapa yang berhak mengesahkan. Kalau sekarang Undang-Undang itu diberikan mandatnya ke Wali Kota, tapi Wali Kota bisa mendelegasikan ke anak buahnya, Kepala Dinas tertentu,” katanya.

Kita berharap pemerintah kota tolong kita dibantu, karena kita serba susah.

Langkah selanjutnya tutur Triandy, Dalam waktu dekat saya akan menemui mereka (warga apartemen Gunawangsa Tidar) dan saya akan memberi pengertian, dan saya akan pastikan aturan yang sudah ditentukan besaran nilai itu tidak merugikan semua pihak, pasti akan menguntungkan banyak orang, karena tidak pernah untung ke saya.

“Saya tetap akan jalankan sesuai aturan, supaya aturan itu tegak tertib untuk semua warga. Saya akan matikan listriknya dan itu saya punya landasan hukumnya. Di dalam PPJB sudah tertulis, kalau tidak bayar listrik dan service charge dimatikan. Dan itu berlaku di semua apartemen. Boleh tinggal, tapi fasilitas umum tidak bisa dipakai, tentu fasilitas umum itu dibiayai oleh service charge,” tutupnya. (nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!