- iklan atas berita -

Metro Times (Bantul) Warga dari Padukuhan Banyakan II, Banyakan III, Pagergunung I dan Pagergunung II Kelurahan Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta menolak pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) yang akan dilaksanakan pemerintah setempat di wilayah Kelurahan Srimulyo.

Warga khawatir mehadiran TPSS itu dapat menimbulkan pencemaran terhadap sawah milik warga di sekitar TPSS tersebut.

Sebagaimana dikatahui pada Selasa 2 Juli 2024 lalu pemerintah daerah Bantul dan perangkat kelurahan dari Srimulyo mengadakan sosialisasi pembangunan TPSS di Kelurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan. Aksi penolakan itu mencuat saat kegiatan sosialisasi tersebut tengah berlangsung.

Aksi mereka cukup beralasan karena TPPS Srimulyo ini dibangun itu berada di perbatasan antara Kelurahan Srimulyo dan Sitimulyo. Warga memandang terdapat potensi ancaman pada lingkungan terutama sawah warga di wilayah Kelurahan Sitimulyo terutama empat padukuhan tersebut.

Warga menyatakan siap untuk menggelar aksi demonstrasi yang lebih besar jika pemerintah daerah bersikukuh melakukan pembangunan TPSS di wilayah ini.

ads

“Penolakan ini terjadi lantaran warga dari keempat padukuhan tersebut akan menerima dampaknya. Sawah-sawah warga dari keempat padukuhan di Sitimulyo terancam pencemaran,” kata Kata Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi WALHI Yogyakarta, Elky Setio dalam siaran pers yang diterima Metrotimes, Senin (10/6).

Disebutkan TPSS Srimulyo akan dibangun di tanah seluas 3000 meter persegu dengan status tanah Sultan Ground. Terdapat tiga titik yang akan dijadikan opsi yaitu TPSS Kaligatuk, TPSS Puncak Bucu, dan TPSS Tumpang.

Pemerintah daerah akan menggunakan tanah tersebut untuk kegiatan pembuangan sampah dengan masa kontrak selama 6 bulan yang akan berakhir pada Desember 2024. Tidak ada penjelasan teknis terkait bagaimana model pengelolaan penguraian kandungan lindi dan pengelolaan gas metan yang akan dilakukan.

Tidak dijelaskan pula bahwa TPSS tersebut digunakan untuk pembuangan residu saja. Sehingga, tidak menutup memungkinan sampah yang dibuang di TPSS tersebut merupakan sampah hasil pengangkutan dari hulu yang
tidak diolah.

TPSS rencananya akan menggunakan geomembran dan talud untuk menahan air lindi. Namun pada praktiknya, geomembran dan talud bukan menjadi solusi yang bisa menahan aliran lindi. Warga telah membuktikan dengan melakukan pengecekan di TPA Transisi yang menggunakan geomembran.

Menurutnya, Geomembran tersebut pada akhirnya tetap rusak dan akhirnya air lindi masih mencemari tanah dan air milik warga. Pembangunan TPA dan kebijakan yang serampangan dari kabupaten/kota di DIY tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan adanya desentralisasi.

Hal itu justru menunjukan bahwa pemerintah Provinsi DIY melepaskan
tanggunjawabnya dari kegagalan pengelolan sampah. Pada undang-undang nomor 18
tahun 2008 TPA merupakan tanggungjawab dari pemerintah provinsi. Pasca munculnya kebijakan terkait desentralisasi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota masih sangat tergantung dengan TPA Piyungan.

TPA Piyungan secara resmi telah ditutup namun pada praktiknya TPA itu masih menjadi pilihan tempat untuk melakukan pembuangan sampah.

Alih-alih membuat pengelolaan sampah di hulu agar tidak membebani TPA eksisting yang ada di Yogyakarta, pemerintah daerah justru semakin menggencarkan pembangunan TPA. Dari berbagai serangkaian peristiwa yang menunjukkan adanya darurat sampah di Yogyakarta.

WALHI Yogyakarta mendorong adanya solusi yang diselesaikan secara holistik. Pertama harus dilakukan Perancangan, pengembangan, dan evaluasi yang jelas terkait kebijakan dan implementasi proyek pengelolaan sampah dengan sudut pandang sistemik dengan memastikan keselarasan antara manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi

Kedua, sistem pengelolaan sampah harus dikuatkan dan diselaraskan dengan tujuan sistemik yang lebih besar, salah satunya adalah memastikan adanya layanan dasar publik seperti air bersih, kesehatan, energi, pendidikan, makanan dan kebutuhan mendasar lainnya untuk semua.

Berikutnya kebijakan terkait pengelolaan sampah harus menyediakan manfaat yang lebih jauh seperti udara bersih, penghidupan yang lebih baik serta ketahanan pangan. Hal-hal tersebut harus dapat diakses seluruh warga atau komunitas, khususnya bagi mereka yang saat ini dirugikan oleh pencemaran.(dnl)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!