MetroTimes (Surabaya) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja meresmikan Undang-Undang (UU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan. UU tersebut memberikan cuti melahirkan minimal tiga bulan dengan tujuan mengakomodir kebutuhan dan kedekatan ibu dan sang bayi.
Pakar Kebijakan Kesehatan Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Ernawaty drg MKes turut menyuarakan pendapat terkait kebijakan itu. Ia mengatakan, dalam penerapan kebijakan tersebut beberapa poin harus diperhatikan terutama kondisi ibu.
“Langkah pemerintah dalam menciptakan UU KIA ini telah tepat untuk mendukung kondisi ibu hamil, ibu bersalin ataupun setelah persalinan. Pada dasarnya, seorang ibu melahirkan membutuhkan dukungan penuh dari berbagai pihak,” ujarnya.
Dampak Positif
Dr Erna menerangkan, salah satu dampak positif dalam penerapan UU KIA yakni sang ibu memiliki waktu yang optimal untuk mengasuh bayinya. Pasca melahirkan merupakan waktu yang krusial bagi ibu dan anak, selain itu bayi akan mendapatkan asupan air susu ibu (ASI) eksklusif secara penuh.
“Dengan adanya cuti yang diberikan pada ibu, maka ibu mampu lebih optimal dalam mengurus anaknya. Ditambah, pemberian ASI eksklusif juga penting dalam masa pertumbuhan bayi,” imbuh dr Erna
Selain itu, UU tersebut juga berdampak positif bagi ibu bersalin. Sang ayah juga akan diberikan cuti selama dua sampai tiga hari untuk menemani istri selama masa persalinan. Dalam kondisi itu, ibu memperlukan keberadaan suami untuk memberikan dukungan mental.
“Peran suami juga tidak kalah pentingnya, seorang suami harus memberikan support penuh selama masa persalinan. Support tersebut harus didapatkan oleh istri sejak prosesi hamil, melahirkan dan pasca melahirkan. Dengan harapan, kesejahteraan perempuan dan anak dapat terpenuhi,” tuturnya.
Poin Penting
Dr Erna menyebutkan, dalam penerapan UU tersebut harus mengutamakan kemudahan perempuan, salah satunya dalam hal mendapatkan cuti enam bulan. Selain itu, perempuan tetap memiliki kesempatan untuk bekerja atau berkarir tanpa adanya halangan terkait reproduksi perempuan.
“Meski telah diberikan hak pemberian gaji pada ibu selama cuti, namun yang kerap kali menjadi persoalan yakni apakah ada jaminan untuk perempuan tidak tertinggal karirnya selama masa cuti tersebut berlangsung,” jelasnya.
Pakar Kebijakan Kesehatan itu menambahkan, perempuan yang bekerja di sektor informal harus mendapat perhatian juga. Nyatanya, UU KIA ini cenderung kepada perempuan yang bekerja di sektor formal. Apabila dalam penerapannya tidak dapat merata akan menimbulkan diskriminasi.
“Kalau dilihat memang UU KIA ini cenderung pada perempuan yang bekerja di sektor formal. Lalu, bagaimana nasib perempuan yang bekerja di sektor non formal. Seharusnya, mendapatkan kesempatan yang sama juga dengan perempuan lainnya,” terangnya.
Dr Erna mengungkapkan, niat baik saja dari pemerintah dengan meresmikan UU KIA ini belum cukup. Artinya, pemerintah harus mengawasi secara ketat dalam penerapannya melalui aturan turunannya. Selain itu, pemerintah harus melakukan sosialisasi berkesinambungan untuk masyarakat.
(nald)