Metro Times (Surabaya) – Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali membuktikan kompetensinya dalam diskusi dan negosiasi pada level dunia. Melalui Ghazy Dicky, mahasiswa ITS yang menjadi perwakilan Indonesia, berhasil raih penghargaan Best Delegate pada ESOGÜ Model United Nation (MUN) 2018 yang dihelat di Eskisehir Osmangazi University, Turki selama empat hari hingga 2 Desember lalu.
Dihelat oleh Diplomation and MUN Club Osmangazi University, kompetisi berbentuk simulasi sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini diikuti oleh perwakilan berbagai perguruan tinggi dunia. Tercatat sebanyak 15 negara yang mewakilkan delegasinya masing-masing pada ESOGÜ MUN 2018 ini. Di antaranya dari Turki, Denmark, Moroko, Indonesia, India, Tanzania, Afghanistan, Haiti, Syria dan lain sebagainya.
Ghazy menerangkan bahwa jenis persidangan yang diikutinya adalah United Nation (UN) Women. Bertajuk Gender Inequality in Workplace, ESOGÜ MUN 2018 ini membahas diskriminasi terhadap perempuan di lingkungan pekerjaan. Pada persidangan kali ini, para delegasi diposisikan sebagai perwakilan dari tiap-tiap negara yang telah ditentukan untuk menganalisa permasalahan terkait tema dan menemukan solusi permasalahan tersebut dalam bentuk resolusi.
Dalam sidang tersebut, Ghazy bertindak sebagai wakil dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Berbagai kebijakan pemerintah RRT untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum perempuan ia angkat pada persidangan ini. Meskipun begitu, baginya masih ada beberapa kebijakan yang masih harus diperbaiki.
“Ide-ide yang bisa memperbaiki kebijakan tersebut saya utarakan di dalam persidangan,” terang mahasiswa Departemen Teknik Mesin ini. Loopholes atau perbaikan dari kebijakan tersebut inilah yang menjadi poin tambah baginya dalam kompetisi tahunan sejak tahun 2014 itu.
Dalam persidangan ini, Ghazy mengimbau negara-negara di dunia untuk membuat sebuah project guna meningkatkan kesadaran terhadap kesetaraan gender. Membutuhkan dana besar, Ghazy mengusulkan sebuah konsep di mana negara-negara melakukan donasi sesuai dengan jumlah Gross Domestic Product (GDP) yang mereka miliki. GDP sendiri merupakan nilai dan jasa akhir yang dihasilkan dari berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu setahun. “Dengan konsep ini, negara dapat berdonasi sesuai kemampuan ekonominya masing-masing,” ujar mahasiswa angkatan 2016 ini.
Ghazy melanjutkan, RRT sebenarnya telah memiliki upaya yang bagus terkait tema ini, seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan (Labour Law) dan deklarasi keadilan gender bagi masyarakatnya. Namun, menurut Ghazy, ketidakadlian kaum perempuan dalam pekerjaan masih terwujud dalam bentuk terselubung, sehingga sulit untuk dibuktikan. “Misalnya saja seperti pemutusan kontrak kerja dini dengan alasan kepedulian terhadap kesehatan karyawan perempuan,” imbuh pria kelahiran Denpasar ini.
Dengan ini, Ghazy memiliki solusi dibuatnya kebijakan oleh pemerintah tentang ketenagakerjaan secara lebih jelas lagi. Hal ini bisa terkait dengan masa kontrak, gaji kerja, serta hal-hal yang mengatur tentang pensiun karyawan. Dengan ini diskriminasi terselubung terhadap karyawan perempuan akan bisa dikurangi di RRT.
Untuk memunculkan ide tersebut, pada saat persiapan Ghazy harus melakukan riset terkait kebijakan terkait perlindungan terhadap perempuan baik dari negara yang diwakilinya maupun kebijakan internasional. Permasalahan yang belum dapat diselesaikan oleh kebijakan ini pun harus ia pelajari sebagai bekal wawasan. “Dengan menganalisa permasalahan tersebut, ide-ide yang mungkin diterapkan untuk memecahkan masalah tersebut saya kemukakan dalam sidang,” papar pria yang hobi mengikuti ajang debat ini.
Ditanya mengenai kendala, menurut Ghazy, media penyampaian setiap delegasi lah yang menjadi sedikit hambatan dalam persidangan. Terutama karena banyak delegasi asal Turki yang menggunakan bahasa setempat dalam sidang nonformal, sehingga topik yang sedang diperbincangkan sulit dipahami oleh peserta lain yang tidak menguasai bahasa tersebut.
Bagi Ghazy, yang terpenting dalam kompetisi internasional ini adalah adanya jaringan (networking) dengan mahasiswa-mahasiswa berbagai negara. Adanya saling tukar informasi mengenai negara masing-masing sangat menambah wawasan baginya.
Selain itu, kemampuan public speaking dan kemampuan berdiplomasi akan terlatih dengan mengikuti kompetisi ini, sebab para delegasi pada ESOGÜ MUN 2018 ini cukup kompetitif. “Delegasi lain umumnya memang mempelajari ilmu hubungan internasional dalam kampus masing-masing, berbeda dengan saya sebagai mahasiswa teknik,” ujarnya pria asal Tabanan ini.
Pada persidangan ini, Ghazy memang sangat aktif dalam berargumentasi dan berdiskusi. Dibandingkan delegasi lain pula, Ghazy diniliai paling diplomatis dan mampu bernegosiasi. Berkat performa yang sangat baik inilah Ghazy meraih penghargaan Best Delegate dalam ESOGÜ MUN 2018 ini. Atas perolehan ini, Ghazy merasa senang dan bersyukur bisa membawa nama Indonesia dan ITS di level internasional, sebab ia menilai bahwa persaingan dengan delegasi negara lain itu cukup berat.
Kompetisi semacam ini, tambah Ghzay, memiliki banyak manfaat untuk berbagai pihak. Selain baik untuk meningkatkan kemampuan dirinya sendiri dan mengharumkan nama ITS, kompetisi ini juga baik untuk meningkatkan nama baik Indonesia di mata dunia. Sebab, masih banyak anggapan miring tentang Indonesia, contohnya seperti masyarakatnya yang masih primitif dan wilayahnya masih dipenuhi hutan belantara.
“Harapan saya, mahasiswa-mahasiswa lain dapat meningkatkan prestasi lain di kancah internasional dan meluruskan opini global tentang Indonesia yang kurang tepat,” tutur satu-satunya perwakilan Indonesia ini. (nald)