- iklan atas berita -

MetroTimes (Surabaya) – Sidang lanjutan perkara dugaan penipuan yang melibatkan bos PT. Mahardika Serayu Utama (MSU), Ir. Arif Gunawan sebagai terdakwa kembali digelar majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang diketuai Safrudin, Selasa (8/9/2020).

Sidang secara telekonferensi di ruang Cakra ini, digelar dengan agenda pembacaan berkas tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Darwis dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya.

Oleh jaksa, terdakwa Arif Gunawan dituntut 2 tahun penjara. “Menyatakan terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah sesuai pasal 378 KUHP. Menuntut terdakwa dengan hukuman pidana 2 tahun penjara dikurangi masa tahanan yang telah dijalani,” ujar jaksa membacakan berkas tuntutannya.

Menanggapi tuntutan jaksa, terdakwa memilih menyerahkan pembelaannya (pledoi) kepada tim penasehat hukumnya.

“Saya serahkan ke tim penasehat hukum Yang Mulia,” ujar terdakwa menjawab pertanyaan hakim.

ads

Sidang dilanjutkan Selasa (15/9/2020) pekan depan dengan agenda pembacaan berkas pledoi oleh tim penasehat hukum terdakwa.

Penasehat hukum Arif Gunawan, Edi Santoso S.H., setelah persidangan memberi keterangan kepada media, mengatakan, untuk diketahui awalnya perjanjian kerja sama antara Direktur CV. Hasta Prima Lestari (HPL) Arif Rachman yang didampingi Novreza dengan pemilik PT. Mahardika Serayu Utama (MSU), Ir. Arif Gunawan.

Lebih lanjut Edi Santoso SH, menyampaikan kronologisnya, Arif Rachman mengatakan, kalau bisa nembusi proyek di PT. Telkom, kita akan back up dana berapa pun. Akhirnya proyek itu bisa didapat dari PT. Telkom Regional V Jawa Timur untuk Penyediaan Jaringan Akses Broadband di Perumahan Kraton Regency Krian-Sidoarjo.

“Perjanjian jelas kondisinya bahwa itu proyek bagi hasil, karena proyek ini proyek investasi. Dari awal Arif Rachman sudah apaham,” jelasnya.

Kemudian kondisi itu ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, membahas Apa yang perlu diperjanjikan ?, Keuntungannya bagaimana ?, Pembayarannya nanti bagaimana ?, itu sudah dijelaskan dari awal.

Akhirnya pada bulan Januari itu ditandatangani perjanjian  partnership (kemitraan) antara CV. HPL dengan PT. MSU. “Di situ sudah diperjanjikan bahwa tugas dan kewajiban jelas. CV. HPL adalah mengerjakan proyeknya, dengan segala biaya dia yang tanggung. Dan tugas PT. MSU menagih dan ikut memasarkan produk Indihome itu,” cetusnya.

“Komitmen awal proyek ini bisa dibayar setelah kabel itu dimasukkan ke pelanggan, dan pelanggan ada pembayaran ke Telkom. Saat Telkom di bayar oleh pelanggan ini, itu baru bisa kita tagih. Setelah di tagih baru dibagi untuk biaya produksinya dan sisanya dibagi lagi 70% untuk pihak CV. HPL yang mengerjakan proyèk nya, dan 30% untuk pihak PT. MSU yang dapat proyek dari Telkom,” ujar Edi.

Setelah berjalan proyek itu kondisinya berubah, ternyata dana itu bukan dari Arif Rachman, tapi dana dari Danil Adjak Assegaf pemilik CV. HPL (bosnya Arif Rachman) itu yang dipakai.

“Tidak tahu ngomongnya Arif Rachman ke Danil apa, sehingga Danil punya persepsi proyek kalau sudah jadi langsung bisa ditagih, tidak ada perjanjian investasi, kita itu kontraktor (alasannya Danil),” ucap Edi.

Menurut Edi, perjanjian bukan proyek jadi langsung dibayar, tetapi kita tagih ke Telkom. Kalau Telkom belum ada pemasukan bagaimana bayar ? Dana dari mana. Akhirnya terjadi salah persepsi, menurut Danil, kita yang melakukan penipuan. Sehingga itu dilaporkan ke pihak polisi.

“Anehnya yang melaporkan Danil Adjak Assegaf yang tidak pernah bertemu dengan Arif Gunawan, sedangkan yang tanda tangan perjanjian sama kita, awalnya sama Direktur CV HPL Arif Rachman dengan PT MSU, tapi yang lapor justru orang yang tidak ikut atau menghadiri tanda tangan perjanjian. Jadi bagaimana menipunya ?,” terang Edi, yang juga bertanya bagaimana penegak hukum bisa meneruskan laporan ini hingga di persidangan.

Ini sebetulnya permasalahan interen perusahaan itu, kenapa tidak Arif Rachman dulu dilaporkan ke polisi atau di cek dananya ke mana.

Edi Sucipto menambahkan, ada tiga poin yang akan kita sampaikan di persidangan, yang pertama sebetulnya ini masalah interen perusahaan, dan yang kedua soal pelapor yang memunculkan pertanyaan besar kita, bagaimana pelapor melapor penipuan padahal tidak pernah bertemu dengan terdakwa ?.

“Kemudian yang ketiga soal hitungan, rekonsiliasi itu memang diperlukan supaya cocok. Pengeluaran yang dilakukan dengan yang terpasang di lapangan, itu harus klop. Menurut Danil telah mengeluarkan dana Rp. 352.824.318,- (tiga ratus lima puluh dua juta delapan ratus dua puluh empat ribu tiga ratus delapan belas rupiah), sedangkan menurut hitungan kita cuma Rp. 187 juta itu harus cocok,” pungkas Edi. (nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!