JAKARTA – PTUN Jakarta mengabulkan permohonan eks komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty melawan Presiden Jokowi terkait pemecatan dirinya. Sitti Hikmawatty dipecat buntut pernyataan dirinya yang menyebut orang bisa hamil karena berenang bareng di kolam renang dengan lelaki lain.
“Menyatakan batal Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43/P Tahun 2020 Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Periode Tahun 2017-2022 yang ditetapkan di Jakarta tanggal 24 April 2020, atas nama DR. Sitti Hikmawatty, S.ST., M.Pd. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43/P Tahun 2020 Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Periode Tahun 2017-2022 yang ditetapkan di Jakarta tanggal 24 April 2020, atas nama DR. Sitti Hikmawatty, S.ST., M.Pd,” kata ketua majelis Danan Priambada.
Duduk sebagai anggota majelis Bambang Soebiyantoro dan Ankdiat Sastodinata. Putusan terkait Sitti Hikmawatty itu dibacakan pada Kamis (7/1) kemarin sore dalam sidang virtual.
“Mewajibkan Tergugat untuk merehabilitasi dan memulihkan hak Penggugat dalam kedudukan, harkat dan martabatnya seperti keadaan semula sebagai Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Periode Tahun 2017-2022 sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku,” ucap majelis.
Menurut PTUN Jakarta, didasari ketentuan Pasal 75 U No 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah oleh UU No 35 Tahun 2014, diatur adanya prosedur bagi Presiden untuk menggunakan kewenangan atributif untuk mengangkat dan memberhentikan keanggotaan KPAI dengan adanya pertimbangan DPR.
“Yang mana terhadap pertimbangan oleh DPR RI tersebut menurut Majelis Hakim dapat pula tergolong pada kewenangan atributif DPR RI untuk mempertimbangkan adanya usulan pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan KPAI, sedangkan nomenklatur mengenai ‘untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan’ secara gramatikal tidak dapat dipahami bahwa ketentuan tersebut sebagai pengecualian hanya terhadap pengangkatan untuk masa jabatan lima tahun saja kewenangan atributif DPR RI tersebut berlaku, melainkan kaidah norma tersebut merupakan suatu kesatuan yang mengurai adanya kewenangan atributif DPR RI untuk mempertimbangkan terhadap pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan KPAI,” papar majelis.
“Selanjutnya secara limitatif terhadap Presiden diberikan kewenangan untuk menerbitkan Peraturan Presiden mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan, dan tidak terdapat pengaturan tentang kewenangan untuk membatasi kewenangan atributif DPR RI,” sambung majelis.
Sedangkan menurut Pasal 21 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang mensyaratkan pemberhentian keanggotaan KPAI oleh Presiden hanya dengan adanya usulan KPAI melalui Menteri.
“Menurut Majelis Hakim tidak dapat mengesampingkan kewenangan atributif DPR RI untuk mempertimbangkan pemberhentian keanggotaan KPAI, melainkan ketentuan tersebut menjadi dasar bagi Presiden sebagai pedoman prosedur sampai diajukannya permintaan pertimbangan kepada DPR RI sebelum diterbitkannya keputusan pemberhentian keanggotaan KPAI,” pungkas majelis. (dtc)