MetroTimes (Jakarta) – Kasus perundungan (bullying) yang semakin marak di berbagai tingkat pendidikan menjadi perhatian serius banyak pihak, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan pentingnya memperbanyak program anti-bullying di sekolah dan memperkuat pengawasan untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
“Edukasi rutin tentang dampak berbahaya bullying pada masa depan anak harus menjadi prioritas. Sekolah perlu mengambil langkah konkret,” ujar Puan.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, menyebut situasi ini sebagai darurat kejahatan terhadap anak. Ia menyoroti bahwa bullying, baik verbal maupun fisik, merupakan ancaman serius bagi perlindungan anak.
“Kita prihatin karena anak-anak belum terlindungi sepenuhnya. Banyak faktor yang memengaruhi, salah satunya adalah tayangan di media sosial yang sering kali menjadi contoh buruk,” kata Kawiyan, Selasa (10/12/2024).
Ia menambahkan bahwa pencegahan harus dimulai dari keluarga dengan pengasuhan penuh kasih sayang. “Orang tua perlu memberikan teladan yang baik agar anak memiliki rasa cinta dan empati terhadap sesama,” jelasnya.
Kawiyan juga mendorong penegakan hukum bagi pelaku bullying, termasuk orang tua yang terlibat kekerasan terhadap anak. Untuk pelaku di bawah umur, ia merekomendasikan pendampingan dan bimbingan.
“Anak-anak yang melakukan kekerasan membutuhkan pendampingan untuk mengubah perilaku mereka,” katanya.
Pengamat pendidikan dan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, menekankan pentingnya membangun budaya anti-bullying di lingkungan pendidikan. Menurutnya, pembudayaan ini harus dimulai dari para guru sebagai agen perubahan.
“Guru harus menciptakan kondisi menyenangkan di kelas sehingga anak-anak merasa aman. Jika atmosfer belajar kondusif, kurikulum apapun akan lebih mudah diterapkan,” jelas Rizal, yang juga dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ia juga menyoroti tiga indikator utama untuk menekan kekerasan di sekolah: kurikulum, tata kelola, dan pedagogi. “Dari ketiganya, pedagogi atau peran guru adalah yang paling penting,” tambahnya.
Ketua Satgas Anti Kekerasan Seksual, Perundungan, dan Intoleransi Universitas Kalbis, Ridha Sefina, menyatakan bahwa pembudayaan anti-bullying dapat menjadi langkah efektif dalam pencegahan.
“Pembudayaan anti-bullying harus menjadi norma. Misalnya, membudayakan bahwa kampus ini menolak segala bentuk kekerasan seksual dan perundungan,” tegas Ridha.
Menurut laporan KPAI 2024, kasus bullying di Indonesia tercatat meningkat 12% dibandingkan tahun sebelumnya, terutama di tingkat sekolah menengah. Namun, sejumlah inisiatif seperti pembentukan Satgas Anti-Bullying di beberapa sekolah telah mulai menunjukkan hasil positif, dengan penurunan insiden sebesar 8% di institusi yang telah menerapkan kebijakan ini.
Dengan maraknya kasus bullying, DPR diharapkan dapat segera menyusun standar operasional prosedur (SOP) nasional untuk menangani kasus ini serta mendorong pembudayaan nilai-nilai anti-kekerasan di sekolah. Semua pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, hingga keluarga, harus bersinergi untuk melindungi generasi muda dari ancaman bullying yang dapat merusak masa depan mereka.
(nald)