Metro Times (Purworejo) Penetrasi internet yang tinggi di Indonesia tidak diimbangi dengan kemampuan bersikap kritis terhadap informasi yang beredar di internet. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak kalangan masyarakat terjebak dengan informasi bohong (hoaks) yang disebarkan melalui situs atau media illegal alias abal-abal.
Hal itu mengemuka dalam kegiatan Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif bertajuk “Peran Media dan Ormas dalam Menyukseskan Pemilu Tanpa Hoaks dan Ujaran Kebencian” yang digelar oleh Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Purworejo di Hotel Sanjaya Inn Purworejo, Rabu (21/9/2023). Sosialisasi diikuti seratusan peserta dari unsur wartawan dan perwakilan berbagai Ormas.
Berbagai materi disampaikan oleh 2 narasumber, yakni Widya Astuti (Anggota Bawaslu Purworejo) dan Agung Purwandono (Trainer tersertifikasi Google News Initiative).
Dalam paparannya, Agung Purwandono menyampaikan bahwa berdasarkan hasil Survei Internet Tahun 2023 diketahui, lebih dari separuh populasi Indonesia terhubung dengan internet dan media sosial. Jumlah penduduk terkoneksi internet tahun 2022-2023 ada sebanyak 215.626.156 jiwa dari total populasi 275.773.901 jiwa penduduk Indonesia tahun 2022.
“Tingkat penetrasi internet Indonesia tahun 2023 mencapai 78,19 persen,” sebutnya.
Kendati demikian, tingginya tingkat penetrasi internet di Indonesia tidak diimbangi dengan kemampuan bersikap kritis terhadap informasi yang beredar sehingga mudah termakan hoaks atau dis-misinformasi. Menurutnta, ada berbagai faktor yang menyebabkan masyarakat percaya dengan hoaks.
Berdasarkan pendapat dari Laras Sekarasih PhD, Dosen Psikologi Media Universitas Indonesia, diketahui bahwa orang lebih cenderung percaya hoak jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki.
“Misal seseorang memang sudah setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya. Demikian pula sebaliknya,” katanya.
Lebih lanjut disampaikan bahwa pada tahun politik seperti saat ini, hoaks sangat umum digunakan oleh kandidat atau pendukung untuk menjatuhkan lawan politiknya. Namun, menjadi sangat berbahaya jika hoaks tersebut menyangkut isu SARA dan upaya delegetimasi penyelenggaraan Pemilu.
Pihaknya pun membeberkan sejumlah tips untuk melawan hoaks atau dis-misinformasi.
“Pertama, alamat situs. Cek alamat situsnya. Kalau ragu, lakukan riset dengan domainbigdata.com. Ada juga situs abal-abal yang cuma beralamat di Blogspot.
Kedua, terkait detail visual. Perhatikan detail visualnya, misalnya gambar logonya yang jelek. Ada situs abal-abal yang menyaru mirip-mirip situs media mainstream.
“Ketiga, iklan. Hati-hati dengan website yang banyak iklannya. Media abal-abal sekadar mencari click untuk mendapatkan iklan,” lanjutnya.
Tips berikutnya yakni pahami ciri-ciri pakem media. Bandingkan sejumlah ciri yang menjadi pakem khas jurnalistik di media mainstream. Misalnya, nama penulisnya jelas, cara menulis tanggal di badan berita, hyperlink-nya yang disediakan mengarah ke mana, narasumbernya kredibel tidak, dan seterusnya.
“Cek “About”-nya. Media abal-abal selalu anonim. Sesuai UU Pers, berbadan hukum dan ada penanggungjawabnya. Cek, ada alamat yang jelas dan siapa saja orang-orangnya. Mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Purworejo, Purnomosidi, dalam sambutannya menyampaikan bahwa saat ini Indonesia sedang berada pada era post truth atau pascakebenaran. Era dimana orang mudah untuk meluapkan emosi melalui media sosial dengan mengesampingkan data dan fakta.
“Maka bagi kami peran teman-teman media serta Ormas sangat penting. Kami berharap setiap informasi yang tersebar melalui media sosial dan median mainstream mengacu pada data dan fakta, bukan asumi bahkan berita bohong,” tandasnya. (dnl)