Oleh : Prof. Dr. Apt. Noorma Rosita, M.Si. (Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga)
MetroTimes (Surabaya) – Perkembangan kebutuhan Kosmetika skin care akhir-akhir ini melonjak cukup tajam. Kosmetika skin care ditinjau dari tujuan penggunaannya, termasuk kosmetik deep effect. Selain deep effect dikenal ada kosmetik surface effect, seperti halnya kosmetik dekoratif dan tabir surya anorganik. Disebut deep effect, karena untuk mendapatkan efek atau manfaat, bahan aktif harus bekerja di dalam kulit, tidak hanya di permukaan saja.
Pada kosmetik jenis ini, bahan aktif harus dapat menembus sawar kulit yaitu lapisan stratum corneum dan masuk ke lapisan dermis kulit, akan tetapi dilarang untuk masuk lebih dalam lagi menembus basal membran. Apabila menembus basal membrane maka bahan aktif akan tersirkulasi sistemik, dan ini bukan lagi menjadi ranah kosmetik, melainkan obat dengan tujuan sistemik.
Saat seorang formulator mendesain formula suatu kosmetik, tentu saja berusaha memenuhi aspek mutu kosmetik tersebut. Aspek mutu yang dimaksud disini adalah aspek manfaat/efektivitas, stabilitas, efektivitas dan akseptabilitas (penerimaan konsumen, atau kenyamanan). Pada obat, aspek efektivitas menjadi prioritas utama, sementara aspek akseptabilitas menjadi prioritas terakhir. Sebagai contoh obat kemoterapi, meskipun sangat tidak akseptabel dan bahkan cenderung “tidak aman”, tetap dipertahankan penggunaannya. Sementara pada kosmetik, secara umum aspek akseptabilitas menjadi prioritas, karena karakter pengguna kosmetik yang sehat atau merasa sehat sehingga cenderung lebih banyak kemauan. Tekstur, warna, bau, kemudahan dioleskan dan stabilitas fisik, menjadi pertimbangan utama konsumen dalam memilih kosmetik. Bahkan pemilihan jenis dan bahan kemasan serta teknik pemasaran kosmetik menjadi berbeda karena karakter pengguna kosmetik tersebut.
Dengan maraknya kosmetik skin care jenis antiaging dan pencerah, agar kosmetik tersebut memberi manfaat sesuai klaim yang tertulis pada kemasannyaa, maka aspek manfaat juga menjadi sangat diperhitungkan. Untuk dapat memberi manfaat, mula-mula yang mutlak diperlukan adalah kemampuan bahan aktif dapat lepas (release) dari basisnya. Selanjutnya khusus untuk kosmetika deep effect, bahan aktif harus dapat berpenetrasi menembus lapisan kulit. Permasalahnya adalah tidak semua bahan aktif dapat menembus sawar kulit, yaitu stratum korneum.
Penetrasi bahan aktif ke dalam lapisan kulit pada prinsipnya melalui tiga jalur penetrasi utama, yakni: (1) interseluler, (2) intraseluler atau transeluler, dan (3) folikular atau apandageal. Jalur interseluler dan folikuler merupakan jalur aktif yang hanya bisa dilalui oleh bahan-bahan yang larut air dan dengan berbobot molekul (BM) kecil. Sementara itu jalur intraseluler atau transseluler merupakan jalur lambat, tetapi menempati sebagian besar permukaan kulit, sehingga jalur ini sering diupayakan untuk dapat dilalui. Untuk dapat melalui jalur intraseluler atau transseluler ini bahan aktif harus mempunyai sifat koefisien partisi yang lebih kurang sama dengan kulit. Hal ini sesuai prinsip “like dissolve like”, bahwa suatu bahan polar akan larut dalam senyawa polar dan bahan non polar akan larut dalam senyawa non polar. Adapun bahan aktif yang mempunyai berat molekul besar (lebih dari 500 Dalton), seperti halnya protein, peptide tidak dapat melalui semua jalur penetrasi tersebut. Oleh karena itu, seorang formulator harus melakukan kajian sifat fisika kimia bahan aktif terlebih dahulu, sebelum melakukan desain formula. Adapun sifat fisika kimia bahan aktif tersebut, antara lain: kelarutan, nilai pKa, koefisien partisi (log P), berat molekul (BM) dan stabilitas kimia bahan aktif tersebut. Agar membuat suatu bahan aktif dapat menjadi sediaan kosmetik yang mempunyai kemanfaatan sesuai klaim, beberapa upaya yang dilakukan seorang formulator adalah: 1)“Rekayasa” bahan aktif, 2) Penambahan bahan enhancher yang tepat, atau 3) Pemilihan sistem penghantar yang tepat untuk bahan aktif terpilih.
Yang dimaksud “rekayasa” dalam hal ini adalah melakukan upaya-upaya praformulasi terhadap bahan aktif, misalnya membentuk nanomaterial, atau memperkecil ukuran partikel berukuran nano. ContohTiO2, suatu bahan dasar bedak yang dapat berfungsi sebagai tabir surya fisik. Sebagai tabir surya fisik, mekanismenya adalah: memantulkan, menghamburkan dan atau menyerap UV yang sampai pada permukaan kulit. Dengan semakin kecil ukuran bahan aktif tabir surya fisik tersebut maka efektivitas sebagai tabir surya semakin tinggi karena luas permukaan partikel bahan yang dapat memantul atau menghamburkan sinar semakin besar. Sehingga industri kosmetik kemudian membuat bedak dengan bahan aktif ini dengan menerapkan teknologi nano, yaitu membuat dalam bentuk nanomaterialnya. Harapannya dengan semakin kecil ukuran material, maka efektivitas semakin tinggi: daya menutupi (coverage effect) semakin luas dan juga memberi efek cahaya (shimmer). Tentu saja semakin tersentuh teknologi membuat harga sediaan kosmetik juga semakin tinggi. Itu sebabnya harga bedak sangat bervariasi. Pengecilan ukuran sampai ukuran nano ini tentunya menimbulkan potensi bahaya, terutama untuk bahan-bahan yang ditujukan hanya di permukaan, karena bahan aktif dimungkinkan bebas masuk ke lapisan kulit. Rekayasa yang lain adalah dengan merubah sifat lipofilisitas bahan aktif untuk dibuat mendekati lipofilisitas kulit (log P = 2-3). Terbukti pada glutathione dan Egigalokatekin Galat (EGCG), suatu antioksidan poten, yang bersifat sangat mudah larut, dapat diubah lipofilissitasnya menjadi 2.1 dengan dibuat sistem misel terbalik pada pH 6. Perubahan ini membuat kemampuan penetrasi EGCG sangat meningkat, dan meningkatkan efek antiaging, ditinjau dari penurunan ekspresi matrik metalloproteinase (MMP) 1 yang secara signifikan bila dibanding yang tidak dibuat sistem misel terbalik. Ekspresi MMP yang diaktifkan setelah kulit terpapar UV dan terbentuk Reactive Oxygen Species (ROS) atau radikal bebas, dapat menurunkan serat elastin kolagen dermal, penurunan produksi kolagen serta biosintesis prokolagen.
Penambahan enhancher tertentu juga dapat meningkatkan penetrasi bahan aktif. Salah satu jenis enhancher yang akhir-akhir ini cukup menarik perhatian adalah skin penetrating peptides (SPPs). Terdapat lima jenis SPPS, yakni: SPACE peptide, TD-1, polyarginine, a dermis-localizing peptide dan skin penetrating linear peptide. SPPs tidak mengubah struktur barier lipid kulit, tetapi berinteraksi dengan protein kulit dan menginduksi perubahan struktur sekunder protein kulit. Penggunaan SPACE peptide terbukti dapat meningkatkan efektivitas Amniotic Membrane Stem Cell (AMSC) Metabolite Product (AMSC-MP), suatu hidrofilik makromolekul, dengan berat molekul lebih dari 73KDa. Adanya sistem penghantar yang inovatif seperti nanocarrier baik yang partikulat maupun yang vesikulat juga terbukti meningkatkan jumlah dan kecepatan bahan aktif untuk dapat menembus lapisan kulit. Hal tersebut tentunya meningkatkan efektivitas atau manfaat kosmetik, tetapi di sisi lain berpotensi berdampak pada keamanan.
Berdasar keamanannya, secara regulasi, bahan aktif kosmetik dikelompokkan menjadi 3: dilarang digunakan, diperbolehkan dengan batasan kadar, dan yang bebas digunakan. Dampak keamanan akibat perkembangan desain formula kosmetik terutama pada bahan aktif yang ada pembatasan kadar. Apakah batasan itu sudah memperhitungkan penggunaan sistem penghantar inovatif tersebut? Tentunya perlu kajian mendalam terkait itu dan pihak industri seyogyanya menginformasikan pada yang berwenang mengeluarkan notifikasi (semacam ijin edar untuk kosmetik), dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai teknologi yang diterapkan pada pembuatan sediaannya.