Metro Times (Purworejo) Protes warga terhadap tingginya biaya administrasi jual beli tanah di Desa Kebon Gunung Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo terus bergulir. Sejak adanya pemberitaan terkait pengakuan dua warga yang harus membayar biaya administrasi jual beli tanah seperti halnya pologoro pada Jumat (15/5) lalu, sejumlah warga lain yang merasa menjadi korban ikut bersuara.
Sejumlah warga yang ikut bersuara tersebut antara lain Sumaryanto (50) dan Edy Mulyono (62) yang tinggal di RT 3 RW 2 Desa Kebon Gunung. Mereka menilai tindakan yang dilakukan oknum pemerintah desa tersebut merupakan pungutan liar (Pungli) dan wajib ditindak oleh pihak terkait.
Sumaryanto kepada wartawan mengaku pernah ditarik biaya administrasi sekitar Rp6 juta saat mengurus jual beli tanah pekarangan di dekat rumahnya sekitar 3.000 meter persegi pada bulan Desember 2018. Ia sempat merasa kaget saat dibebani biaya tersebut. Namun, karena aturan itu menurut Sekretaris Desa (Sekdes) berlaku, ia pun membayarnya.
“Ada kuitansinya dan uang di terima Sekdes. Waktu itu saya sempat tanya untuk biaya pengukuran, tapi jawaban dari Sekdes kok sekian persen, setelah dihitung ternyata Rp6 juta. Sedangkan untuk biaya pengukuran itu sendiri, tapi seikhlasnya,” kata Sumarsono saat dikonfirmasi metrotimes.news di rumahnya, Rabu (20/5) siang.
Sumaryanto yang juga mantan pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kebon Gunung ini menyatakan bahwa biaya adaministrasi jual beli tanah dengan persentase atau disebut pologoro pernah ada dan ada aturannya. Namun, sepengetahuannya aturan pologoro telah dicabut saat ia melakukan jual beli saat itu.
“Kata Sekdes harusnya sesuai aturan 5 persen, tapi karena saya pernah terlibat di pemerintahan desa akhirnya jadi 4 persen. Lalu saya tanya ke desa-desa lain, ternyata aturan seperti itu sudah tidak ada,” sebutnya.
Sumaryanto juga pernah menanyakan kemana biaya administrasi itu masuk dan Sekdes menjawab bahwa itu masuk kas desa. Namun, saat ia meminta penjelasan jumlah dan penggunaan kas desa, tidak ada penjelasan hingga sekarang.
“Saat itu saya pernah menyampaikan juga kepada PJ Kades (karena Kades meninggal) bahwa saya tidak mau ngungkit-ngungkit lagi, tapi tolong pungutan seperti itu jangan dilanjutkan. Takutnya gini, kalau ada yang ditarik lagi dan berani ngomong malah pemerintah desa payah,” kisahnya.
Sumaryanto menilai biaya administrasi tersebut merupakan pungutan liar (Pungli). Karena itu, dirinya meminta agar ada pengusutan dari pihak terkait dan meminta pihak desa tidak kembali melakukannya.
“Saya itu cinta desa dan Indonesia. Jangan sampai ini terus jadi masalah,” tandasnya.
Tidak beda dari Sumaryanto, Edi Mulyono juga mengalami hal serupa. Ia ditarik biaya administrasi cukup tinggi saat menguruskan jual beli tanah di 2 tempat milik saudaranya. Dari total harga tanah sekitar Rp150 juta, biaya yang ditarik sebesar Rp 8.250.000.
“Ada kuitansi tanggal 17 januari 2019. Tertulis malah pungutan ini,” katanya.
Edi yang juga pernah menjadi pamong selama 28 tahun menyayangkan tindakan Pemdes. Ia meminta ada pertanggungjawaban terhadap publik oleh Pemdes.
“Sejak berhenti jadi pamong pada 2017, saya tahunya pologoro sudah dihapus, tapi kok di Kebon Gunung masih ada. Ini harus dijelaskan,” ujarnya.
Terpisah, Muhammad Abduh Muttaqin (35) mengaku didatangi Sekdes Kebon Gunung, Afif Sulaiman, pasca adanya pemberitaan terkait pengakuannya pada Jumat (15/5) lalu. Menurutnya, Sekdes bermaksud meminta maaf dan hendak mengembalikan biaya administrasi jual beli tanah yang terlanjut diterimanya.
“Saya dulu ditarik 5 persen dari harga tanah dan uang itu mau dikembalikan lagi pagi setelah muncul berita itu. Saya tidak mau menerima kembali wong sudah saya bayar dan katanya aturan. Tapi kalau untuk memaafkan, sudah saya maafkan,” ungkap Abduh.
Sementara itu, Sekdes Afif Sulaiman, saat dikonfirmasi beberapa hari lalu menampik jika pemerintah desa maupun dirinya atas nama pribadi, membebani biaya terhadap jual beli tanah atau yang selama ini dikenal dengan sebutan pologoro. Namun demikian, bukan berarti pemerintah desa tidak mau menerima apabila ada masyarakat yang hendak menyumbang kas desa secara sukarela.
“Saya maupun desa tidak pernah meminta apalagi memaksa seseorang yang jual beli tanah untuk membayar apalagi sampai menentukan besaranya. Kami hanya menerima apabila ada yang memberikan seikhlasnya, itu saja masuk ke kas desa. Saya bahkan sempat mau mengembalikan sumbangan dari salah satu orang (yang melakukan transaksi jual beli tanah) tetapi katanya beliau ikhlas,” tegasnya, Jumat (15/5). (Dnl)