MetroTimes (Surabaya) – Pemerintah kolonial telah secara nyata memposisikan rakyat pribumi sebagai obyek, bahkan sebagai “stranger” di negeri sendiri.
Paradigma penyewaan tanah di kota Surabaya yang didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 22 Tahun 1977 tentang Ijin Pemakaian Tanah merupakan indikasi masih bercokolnya semangat kolonialisme pada era kemerdekaan.
Siti Anggraenie Hapsari yang akrab disapa SAH, calon wakil Wali Kota Surabaya, mendapat sambutan yang antusias sekali dari warga RW 02 Kelurahan Gayungan, Kecamatan Gayungan Surabaya.
Keluhan warga dari permasalahan pertanahan yang terjadi di wilayah Gayungan disampaikan kepada ahlinya Siti Anggraenie Hapsari atau SAH yang kesehariannya berprofesi notaris dan sebagai Ketua Pengwil Ikatan Notaris Indonesia (INI) Jatim.
Wahono ketua RW 02, Kelurahan Gayungan mewakili warga, menyampaikan permasalahan mengenai pertanahan, kebetulan kami ini disini dulu Gayungan Pasar, di RT 06 RW 02 itu dulu terkena program pelebaran jalan, ada wacana lagi kedepannya akan direlokasi atau digusur tapi tidak dapat ganti rugi.
“Saya mewakili warga, apakah tanah yang sudah ditempati selama 20 tahun dan selalu membayar PBB itu bisa dijadikan permohonan hak milik. Ini yang paling saya harap-harapkan,” jelasnya.
“Pak MA juga mengatakan, saya akan betul-betul mempelajari perundang-undangannya bagaimana, supaya tanah disini itu nanti menjadi hak warga jenengan ( Pak RW),” tiru Wahono.
Mendapat keluhan dari warga RW 02 Gayungan, SAH mengatakan, pak RW memang untuk urusan pertanahan ini adalah bagian saya, karena memang saya bergerak sehari-hari sebagai notaris. Jadi warga negara itu berhak untuk mengajukan permohonan sesuatu hak, dengan syarat, tanah itu tanah negara, kemudian sudah dikuasai selama minimal 20 tahun tanpa pernah dialihkan kepada pihak lain. Dan ada alas haknya, warga memiliki, walaupun itu tanah negara, tapi mungkin dulu ada alas hak ketika memperolehnya. Kalau tidak ada alas hak, itu bisa membuat suatu akte persaksian. Jadi untuk melengkapinya adalah ada suatu akte persaksian, ditambahi lagi surat keterangan sporadik yang di keluarkan oleh Kelurahan, ada pernyataan tanah tersebut tidak sengketa, ini kita bicarakan personel-personel.
SAH menambahkan, kalau kita bicara sudah skopnya lingkungan yang cukup luas. Dimana kemudian disitu akan ada realokasi atau tukar guling, karena memang akan dipakai peruntukan untuk umum ini harus kita lihat. Kalau warga tadi menyampaikan kami tidak akan memperoleh ganti rugi, itu tidak bisa. Kalau tanah itu memang sudah menjadi tanah negara yang dikuasai lebih dari 20 tahun, itu mau tidak mau harus ada ganti rugi. Minimal ganti rugi terhadap bangunannya.
Menurut SAH, selama pemerintahan ibu Risma itu memang getol sekali untuk mencari aset pemerintah kota yang kemarin lepas. Ada Perpres (Peraturan Presiden) itu dikeluarkan tahun 2009 waktu itu masih jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Perpres itu adalah untuk menjadi alat bagi pemerintah daerah untuk membebaskan tanah, tetapi semua harus mencapai win-win solution, karena apa, pasal 33 UUD 1945, Tanah Air dan kekayaan yang ada di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk Kemakmuran rakyat. Rakyat tidak boleh sengsara, tapi negara juga programnya jalan.
“Program harus tetap pro rakyat, walaupun itu untuk pembangunan kota, untuk kebaikan kota tetap harus pada pro rakyat yang harus diutamakan,” imbuhnya.
Melihat paparan dari SAH mengenai hak warga atas tanah negara. Wahono mengatakan, saya sangat-sangat mendukung beliau nantinya berpasangan dengan pak MA, sehingga betul-betul MA-SAH itu nanti bisa membangun Surabaya, khususnya di Gayungan ini bisa lebih maju lagi. (nald)