Metro Times (Purworejo) Ketua Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Kabupaten Purworejo, Erwan Wilodilogo meminta agar kerugian desa akibat aplikasi Kembang Desa dipulihkan. Pada tahun 2020, ratusan desa di Purworejo mengeluarkan uang jutaan rupiah dari Dana Desa untuk aplikasi yang digadang-gadang akan mempermudah administrasi desa. Namun, aplikasi tersebut ternyata malah tidak berfungsi dan terbengkalai tanpa ada tanggung jawab dari pihak pengembang aplikasi maupun dinas terkait. Desa-desa mau mengeluarkan anggaran untuk aplikasi tersebut lantaran ada perintah dari pihak tertentu yang mewajibkan aplikasi Kembang Desa untuk dianggarkan oleh desa.
Erwan saat ditemui di kantornya mengatakan, aplikasi Kembang Desa ini sejak awal dikenalkan oleh pengembang sudah terlihat prematur. Pihaknya juga heran mengapa aplikasi yang tidak jelas efektivitasnya, tetapi malah wajib dianggarkan dalam Dana Desa.
“Kalau menurut saya ini Kembang Desa waktu pertama keluar saya sudah mempertanyakan, dan kenyataannya saat ini prakteknya betul tidak efektif, dan itu ditambah lagi pemerintah desa harus mengeluarkan sejumlah uang dari APBDes, harus membiayai pelaksanaan Kembang Desa ini. Menurut saya tidak efektif, sesuatu yang belum jelas manfaatnya, belum melalui analisa, studi kasus, tapi sudah diluncurkan, jadi terlalu prematur aplikasi itu diluncurkan,” terangnya, Rabu (27/9).
Erwan lupa pihak mana dahulu yang meminta kepada desa-desa agar aplikasi Kembang Desa ini wajib dianggarkan. Namun, seingatnya ada salah satu pendamping desa yang menghubungi agar desa menganggarkan untuk aplikasi Kembang Desa.
“Saya masih ingat, dulu yang menghubungi kami itu pendamping desa supaya kita menganggarkan senilai Rp4 juta, kemudian setelah kita anggarkan memang betul ada pelatihan, di Hotel Plaza, ternyata di perjalanannya aplikasi yang mestinya untuk mempermudah pemdes untuk mengajukan permohonan keuangan transfer daerah, tapi nyatanya malah tidak bisa digunakan, Ini jelas ngga efektif, ini kalau uang kok sudah dibayar kemudian jadi masalah (aplikasi tidak berfungsi), pertanyaannya itu nasibnya bagaimana, itu uang negara,” keluh Erwan yang juga Sekertaris Desa Loano, Kecamatan Loano ini.
Dengan adanya perintah itu, Erwan pada tahun 2020 kemudian menganggarkan untuk aplikasi Kembang Desa. Namun, saat ditagih oleh pengembang, Erwan memilih untuk tidak membayar karena sejak awal dirinya menilai jika aplikasi tersebut tidak efektif. Berbeda dengan Desa Loano, ada sebanyak 438 desa di Purworejo yang membayar untuk aplikasi tersebut. Kini desa-desa itu menanggung rugi karena telah mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk aplikasi yang tidak bisa dipakai. Karena aplikasi ini bermasalah, Erwan mengatakan jika pada tahun 2022 para Sekdes di kumpulkan di Kecamatan Bener oleh polisi agar membawa berkas-berkas yang berkaitan dengan pembayaran aplikasi Kembang Desa.
“Pernah satu kali kita dikumpulkan di Kecamatan Bener, kita disuruh membawa APBdes, dan RAB, kita dikonfirmasi sana apakah membayar atau tidak, kebetulan kalau desa saya nggak bayar, cuma yang sudah membayar mungkin ditanyai lebih detail lagi,” kata Erwan.
Erwan menilai, anggaran Rp4 juta untuk aplikasi Kembang Desa tersebut juga patut dipertanyakan. Erwan juga meminta ada pertanggungjawaban pemulihan kerugian desa dengan tidak berfungsinya aplikasi.
“Karena kalau nilai 4 juta, pelatihannya hanya satu hari, kita dapat kaos, tas, sama modul kit itu saja, sama makan minum, makanya saya sempat tanya ke pendamping desa waktu itu, itu Rp4 juta untuk apa saja. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, lalu kemudian mengembalikan ya, mestinya iya, karena kita nggak bisa pakai, karena kita beli barang, nggak bisa dipakai, sudah nggak ada garansi. Ya desa jelas rugi, itu Rp4 juta kalau dianggarkan untuk Stunting sudah dapet berapa kotak susu, sudah dapat berapa butir telur,” kata Erwan.
Sebagai Ketua PPDI, Erwan berharap kemelut masalah aplikasi Kembang Desa ini bisa segera dituntaskan. Menurutnya, anggaran titipan seperti Kembang Desa ini juga mencederai independensi desa dalam pengelolaan anggaran.
“Kalau sikap organisasi saya belum bisa jawab, tapi yang jelas Kembang Desa itu harus bisa dipertanggungjawabkan, namun secara pribadi Ketua PPDI, jelas itu merugikan desa. Desa yang seharusnya mempunyai independensi pengelolaan anggaran, tapi karena ada titipan atau sejenis itu ya, akhirnya seperti itu,” pungkasnya.
Sementara, Sekdes Banyuasin Kembaran, Kecamatan Loano, Andikasari mengatakan jika perintah wajib menganggarkan tersebut berasal dari Dinpermades (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa) yang kini bernama DP3APMD.
“Sempat menolak, dari pendamping (desa) akhirnya kesini terus, wajib menganggarkan itu, itu dari Dinpermades,” kata Andika Senin (25/9).
Andikasari menjelaskan, awalnya untuk aplikasi Kembang Desa memang diwajibkan dianggarkan senilai Rp4 juta oleh Pemerintah Kabupaten. Kemudian pihaknya mendapat pelatihan penggunaan aplikasi di Hotel Plaza Purworejo pada tahun 2020 lalu bersama dengan ratusan Sekdes di Purworejo. Desa membayar untuk aplikasi tersebut dari anggaran Dana Desa tahun 2020.(dnl)