MetroTimes (Surabaya) – Prof Dr Joni Wahyuhadi dr SpBS (K) MARS dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) dalam bidang ilmu Glioma Molecular and Surgery. Prosesi pengukuhan itu berlangsung pada Kamis (27/7/2023) di Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen, Kampus MERR-C UNAIR.
Dalam sesi orasi, Prof Joni memaparkan terkait glioma atau tumor otak. Ia mengungkap, masyarakat perlu mengetahui kondisi gawat darurat pada penderita tumor otak dan merupakan petaka bagi seseorang penderita bila penanganannya tidak tepat atau adequad.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa glioma atau tumor otak berdasar asal sel tumor terbagi menjadi dua, yaitu tumor otak primer dan tumor otak sekunder. Tumor otak primer di mana sel tumor berasal dari sel sel yang membentuk otak dan yang ada di rongga kepala. Sementara sel tumor berasal dari luar rongga kepala. Tumor otak sekunder sering disebut tumor otak metastase.
“Setiap tahunnya, terdapat 20.500 diagnosis baru dan 12.500 kematian akibat tumor otak di Amerika Serikat. Kasus glioblastoma di Surabaya khususnya di RS Dr Soetomo tahun 2002 sampai 2004 terdapat 405 tumor otak, 29 penderita adalah Glioblastoma Multiforme (GBM). Dari tahun 2013 hingga 2023 tercatat 580 kasus glioma, baik yang dilakukan operatif maupun non-operatif,” ungkap guru besar FK ke-128 tersebut.
Dokter spesialis bedah saraf tersebut mengungkapkan bahwa kegawatan pada penderita tumor otak sampai saat ini masih menjadi masalah besar utamanya di Indonesia. Salah satunya pelayanan kesehatan yang belum merata keberadaan dan kemampuannya.
Sebelum memahami kegawatan pada tumor, perlu mengetahui tanda dan gejala pasien penderita tumor otak. Menurut Prof Joni, keluhan yang utama dan pertama pada umumnya adalah nyeri kepala. Kemudian, nyeri kepala sifatnya hilang timbul, memberat pada saat bangun tidur dan mengejan.
“Biasanya nyeri progresif, artinya makin lama makin sering dan semakin berat. Keluhan kedua kejang, kejang yang muncul pertama pada saat dewasa harus curiga adanya tumor otak, sampai terbukti sebaliknya,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa munculnya gejala dan tanda tidak selalu lengkap. Adanya salah satu atau salah dua dari gejala atau tanda, sudah seharusnya penderita memeriksakan diri pada dokter yang bertanggung jawab pada penyakit tersebut.
“Saat ini tindakan diagnostik untuk mendeteksi kegawatan ini yang terbaik adalah pemeriksaan Computed Tomography (CT) scan kepala. Sehingga dokter bisa cepat memberikan bantuan sesuai dengan penyebabnya. Kendala yang sering didapat adalah keterlambatan dalam diagnostik akibat keterbatasan CT scan pada pusat layanan,” ucap Prof Joni.
Pada akhir, Gubes UNAIR ke-586 itu mengungkapkan bahwa penanganan operasi yang terencana dan gawat darurat dengan dukungan alat modern seperti mikroskop operasi, neuronavigasi, stereotaksis dan lain-lain pendukung, serta kehandalan SDM dalam suatu tim yang kompeten dan solid makin memberikan harapan penyelamatan pasien tumor otak.
“Manajemen tumor otak sudah sangat berkembang, khususnya di RSUD Dr Soetomo. Namun, pemahaman tentang tumor otak terutama kegawatannya menjadi sesuatu keniscayaan bagi masyarakat. Bersama meningkatkan angka harapan hidup dan meminimalkan kecacatan akibat tumor otak,” pungkasnya.
(nald)