- iklan atas berita -
By : DR. M. KAPITRA AMPERA, SH.,MH
TIM ADVOKASI GNPF-MUI PUSAT
MetroTimes(Jakarta) Masyarakat dan hukum adalah dua identitas yang tidak bisa dipisahkan. Dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Untuk mewujudkan keteraturan dalam masyarakat dibutuhkan struktur tatanan (pemerintahan) yang diikat dengan hukum.
Hukum dan Moral Ibarat dua sisi mata uang. Menurut Thomas Aquinas, Perintah moral yang paling dasar adalah melakukan yang baik, menghindari yang jahat. Kaidah-kaidah moral akan mendapat pengakuan dan konkrit manakala di back-up oleh aturan hukum. Oleh karenanya, keteraturan masyarakat selalu sejalan dengan adanya perilaku moral yang baik yang patuh terhadap aturan hukum yang berkeadilan.
Fenomena Hukum dan Moral menjadi hal yang ramai diperbincangkan saat ini. Terdapat kompleksitas permasalahan yang tak terhindarkan dari seputar kasus Gubernur Non Aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok cukup banyak mencuri perhatian sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi RI 1.
Sikapnya yang arrogant kerap kali menjadi kontroversi, seperti membentak/berkata kasar kepada warga dan perilaku emosionalnya saat rapat. Sebagian menganggap hal ini sebagai ketegasan, sebagian lainnya berpandangan itu perbuatan yang tidak beretika/tidak beradab.
Ahok sepertinya menikmati perilaku arogansi-nya yang abuse, yang kemudian menyebabkan kemarahan masyarakat pemeluk agama Islam atas pidatonya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada tanggal 27 September 2016 karena diduga telah melakukan tindak pidana penodaan Agama Islam. Pernyataannya tersebut kemudian menimbulkan reaksi yang besar bagi umat muslim di Indonesia, sehingga berkumpulnya umat Muslim di Jakarta dalam Aksi Bela Islam pada tanggal 4 November (411) dan tanggal 2 Desember (212) untuk menyuarakan harapan agar berjalannya proses hukum terhadap delict yang dilakukan oleh Ahok.
Tanggal 13 November 2016, menjadi pertama kalinya Ahok duduk sebagai Terdakwa dalam kasus Penodaan Agama Islam, penolakannya terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam eksepsinya, ditolak oleh Majelis Hakim dalam Putusan Sela, sehingga persidangan dilanjutkan dengan proses Pembuktian. Agenda pemeriksaan saksi menjadi tidak biasa, para saksi diperlakukan seperti seorang terdakwa. Bukannya mempersiapkan pertanyaan yang membuktikan dirinya tidak bersalah, Ahok dan penasehat hukumnya malah sibuk mempertanyakan profile pribadi saksi. Terang-terangan, ahok dan penasehat hukumnya menyatakan akan menghancurkan kredibilitas saksi.
Para saksi dituding menyampaikan keterangan palsu sehingga timbul ancaman Ahok akan melaporkan saksi ke Kepolisian, padahal Majelis Hakim yang berwenang berdasarkan pasal 174 KUHAP tidak pernah menyatakan para saksi menyampaikan keterangan Palsu. Muncul dugaan, pernyataan Ahok tersebut adalah bagian dari upaya mempengaruhi masyarakat, sehingga para saksi yang umumnya merupakan orang-orang yang dihormati menjadi bahan olok-olokan.
Seperti “Fitsa Hats”, “Saksi Palsu”, dan “Saksi Whatsapp” yang sempat menjadi viral dan trending topic di media sosial. Karakter mencari kesalahan dan mengkambinghitamkan orang lain ini tercermin pada Ahok dalam berjalannya proses persidangan.
Proses persidangan yang telah berjalan secara yuridis, dimata Ahok dan tim nya seakan-akan bernuansa politik, pertanyaan dan pernyataan yang disampaikan kerap kali tidak relevan, seperti menuduh pelaporan terhadapnya berhubungan dengan pencalonannya sebagai Gubernur pada Pilkada DKI Jakarta. Puncaknya, di sidang ke-8 pada tanggal 31 Januari 2017 yang lalu, pada pemeriksaan saksi Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin.
Bahwa, atas keterangan saksi K.H. Ma’ruf Amin, Ahok menyatakan keberatannya tentang Hasil Pandangan dan Sikap Keagamaan MUI yang menurut Ahok berkaitan dengan pertemuan saksi bersama Pasangan Calon No. 1 (Agus-Silvy) yang merupakan rivalnya pada Pilkada DKI Jakarta. Ahok juga menuding saksi telah menerima telepon dari Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono agar segera mengeluarkan “Sikap dan Pandangan Keagaamaan MUI” terhadap kasusnya.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Penasehat Hukumnya yang menyatakan memiliki bukti atas pembicaraan tersebut. Ahok bahkan mengancam akan melakukan proses hukum terhadap saksi K.H. Ma’ruf Amin karena ia anggap berbohong dalam persidangan.
Hal ini sontak menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat, dari mana Ahok mendapatkan bukti pembicaraan telepon antara saksi dengan SBY? illegal wiretapling adalah hal yang secara tegas dilarang oleh undang-undang dan memiliki sanksi yang tegas pagi pelanggarnya, yaitu termuat dalam:
Undang-Undang No 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Eloktronik.
Pasal 31 (1) : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
Pasal 47 : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Undang-undang No. 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Pasal 40 : Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 56 : Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Tekanan dan ancaman Ahok terhadap K.H. Ma’ruf Amin yang sangat dihormati ini kembali menimbulkan reaksi indignation bagi masyarakat, bahkan para tokoh agama, politik dan hukum pun turut menyayangkan sikap Ahok yang semakin menohok ini. Bahkan, dalam pernyataan keberatannya Ahok juga mengancam akan “mempermalukan satu persatu” saksi.
Tentunya menjadi pertanyaan besar, siapa lagi yang akan dipermalukan Ahok. Selama ini amat berkaitan dengan fakta yang terjadi, gencarnya laporan polisi dan provokasi terhadap para tokoh yang kerap menentang sikap Ahok seperti, Habib Rizieq Shihab, Munarman, Para tokoh yang dituduh melakukan upaya makar.
Realitas yang terjadi saat ini, mengingatkan kita pada pemikiran Samuel P. Huntington tentang Benturan Peradaban (Class of Civilization). Ahok seakan berupaya untuk menjatuhkan umat Islam, propaganda para tokoh ulama, sehingga menimbulkan haatzaai (kebencian) dan vijandigheid (permusuhan).
Ahok mungkin merasa gamang seperti Pemikiran Huntington bahwa Islam akan muncul menjadi kekuatan yang mengalahkan kekuatan peradaban lainnya. Indonesia yang selama ini hidup dengan tentram dan bertoleransi, namun sikap dan moral seorang seperti Ahok yang membuat seakan bermusuhan.
Kekuasaan yang dimilikinya tidak diiringi dengan good morality, sehingga perbuatannya sering kali menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Moralitas sangat penting dalam menjalankan kepemimpinan. Apabila moralitas pemimpin baik maka kekuasaannya akan mensejahterakan, namun jika moralitas pemimpin buruk, maka kekuasaan dapat menyengsarakan. Hochmut Kommt Vor Dem Fall.