- iklan atas berita -

Metro Times (Purworejo) Kabupaten Purworejo dikenal memiliki banyak peninggalan bersejarah. Di pusat kotanya banyak ditemukan bangunan tua peninggalan pemerintahan pribumi atau kolonial pada masa lalu.

Tidak hanya berwujud bangunan, ada banyak peninggalan lain. Salah satunya adalah Beduk Pendowo. Beduk itu yang tersimpan di Masjid Agung Darul Muttaqin Kota Purworejo l.

Beduk tersebut unik karena merupakan beduk berbahan kayu utuh terbesar di dunia. Ada banyak Beduk berukuran raksasa, namun tidak ada yang terbuat dari kayu utuh dengan ukuran melebihi beduk kebanggaan masyarakat Purworejo itu.

Beduk Pendowo dibuat tahun 1834, bersamaan dengan pembangunan masjid. Pembangunan masjid dan pembuatan beduk diinisiasi Bupati Purworejo pertama RAA Tjokronengoro I pada tahun 1834. “Bisa dikatakan beduk merupakan peninggalan Adipati Tjokronegoro I, Bupati Purworejo pertama,” kata anggota Takmir Masjid Darul Muttaqin, sekaligus pemerhati sejarah, HR Oteng Suherman, Jumat (16/4)

Beduk dibuat oleh kerabat RAA Tjokronegoro I dan ulama menggunakan bahan bongkot atau pangkal batang Jati Pendowo. Jati Pendowo, katanya, jati liar yang memiliki lima batang utama dan tumbuh di Dusun Pendowo Desa Bragolan Kecamatan Purwodadi.

ads

Pohon jati itu ditebang dan batang utamanya dimanfaatkan untuk tiang utama masjid dan Pendopo Bupati Purworejo. Sementara dahan dan ranting yang juga berukuran besar, katanya, dimanfaatkan untuk atap dan kusen tempat ibadah itu.

Bongkot diserut dan dipahat secara manual hingga menjadi beduk berukuran panjang 292 sentimeter, diameter bagian depan 194 sentimeter, dan diameter belakang 180 sentimeter. “Untuk kulitnya, ketika itu masih banyak ternak berukuran super. Pilihan jatuh pada sapi milik petani di Winong Kemiri, jadi kala itu diperkirakan masih mudah mendapatkan sapi berukuran besar. Kalau orang menyebut berasal dari kulit banteng, ya silakan,” ungkapnya.

Setelah proses pembuatannya selesai, beduk dibawa dari Dusun Pendowo menuju Masjid Agung Darul Muttaqin. Kiai Irsyad, ulama asal Dusun Solotiyang Desa Maron Loano, memimpin pengangkatan beduk. Konon, proses pengangkutan beduk menuju masjid membutuhkan waktu lebih dari 21 hari.

Beduk pun menjadi penanda tibanya waktu salat lima waktu. Beduk juga ditabuh ketika perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, bahkan ketika peringatan kemerdekaan Indonesia.

Namun, katanya, saat ini Beduk Pendowo tidak ditabuh setiap menjelang salat lima waktu. Takmir masjid berupaya menjaga agar beduk tersebut tetap awet dan tidak mudah rusak. “Kulit bagian depan masih asli, hanya belakang sudah pernah diganti. Agar tidak jebol, maka beduk tidak sering-sering ditabuh, sebab kalau sampai rusak takmir akan kesulitan mencari kulit pengganti,” terangnya.

Beduk pun hanya dibunyikan setiap menjelang salat jumat.”Sekarang hanya dibunyikan seminggu sekali, setiap jelang salat jumat,” katanya.

Oteng menjelaskan, keberadaan beduk menjadi magnet bagi Masjid Agung Darul Muttaqin. Masjid itu menjadi salah satu destinasi bagi rombongan peziarah dari berbagai kota di Indonesia. “Mereka penasaran, bahkan sampai berkembang mitos siapa yang bisa mendepa diameter depan beduk, permintaannya terkabul. Itu omong kosong, sebab hanya Allah yang maha mengabulkan permintaan, bukan beduk,” tegasnya.

Untuk menjaga beduk tetap lestari, takmir membuat pagar pembatas. “Sehingga tidak sembarang orang bisa menjamahnya. Kami minta masyarakat tidak mengaitkan Beduk Pendowo dengan mitos apapun, sebab beduk ini semata-mata dibuat untuk penanda waktu salat, bukan lain-lain,” tandasnya. (dnl)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!