
MetroTimes (Surabaya) – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) memicu polemik di kalangan akademisi dan masyarakat sipil. Keputusan yang diambil secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik ini mengundang berbagai pertanyaan mengenai urgensi serta dampaknya terhadap tatanan demokrasi di Indonesia.
Probo Darono Yakti, S.Hub.Int., M.Hub.Int., dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR yang kerap disapa Probo, turut memberikan pandangannya dalam edisi FISIP STATEMENT kali ini. Probo menilai bahwa pengesahan RUU ini merupakan salah satu contoh bagaimana kebijakan strategis diambil tanpa keterlibatan publik yang memadai.
“RUU ini disahkan dengan sangat minim keterlibatan publik, seakan-akan dijauhkan dari sorotan media untuk membatasi pengawasan dan partisipasi masyarakat,” ujar Probo.
Menurut Probo, urgensi pengesahan UU TNI ini patut dipertanyakan. Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diisi oleh personel militer. Perluasan ini akan memicu kekhawatiran terhadap ancaman tergerusnya sistem meritokrasi dalam birokrasi sipil.
Probo juga menggarisbawahi bahwa perluasan peran TNI dalam jabatan sipil tidak hanya berpotensi menciptakan ketimpangan kekuasaan antara militer dan sipil, tetapi juga mengancam supremasi sipil dalam tatanan demokrasi.
“Saat ini kita melihat adanya praktik-praktik yang telah berjalan di luar aturan, seperti pengisian posisi Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal di beberapa kementerian oleh personel militer. Jika ini dilegalkan, maka meritokrasi akan semakin tergerus,” jelasnya.
Dalam konteks demokrasi dan supremasi sipil, Probo menilai bahwa RUU ini berpotensi merusak keseimbangan hubungan sipil-militer. Sejarah mencatat bagaimana supremasi sipil pernah dikekang di era Orde Baru melalui doktrin dwifungsi ABRI.
“Kita perlu belajar dari sejarah. Jika relasi sipil-militer tidak dijaga, maka kita bisa kembali pada pola lama di mana militer mengisi ruang-ruang politik dan pemerintahan secara aktif tanpa batasan yang jelas,” tambahnya.
Menurutnya, dampak jangka panjang dari kebijakan ini dapat mengarah pada kecenderungan otoritarianisme. Hal ini seperti militer memiliki pengaruh yang lebih besar dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan.
“Militer memiliki otoritas untuk membawa senjata, dan ketika mereka juga mengendalikan pemerintahan, maka ancaman terhadap supremasi sipil menjadi nyata,” tegasnya.
Sebagai solusi, Probo menyarankan agar akademisi, masyarakat sipil, dan pemerintah lebih aktif dalam mengawal implementasi UU ini agar tetap sesuai dengan prinsip demokrasi. Probo menegaskan perlunya transparansi dalam kajian akademis dan pembahasan ulang terhadap urgensi RUU TNI ini.
“Tidak ada cara lain selain meninjau ulang dan jika perlu, membatalkan RUU TNI ini. Pemerintah dan DPR harus mendengarkan aspirasi publik, bukan sekadar melayani kepentingan kelompok tertentu dalam tubuh TNI,” tegasnya.
Dengan berbagai kekhawatiran yang muncul, Probo menekankan pentingnya penerapan prinsip bahwa TNI adalah alat negara, bukan alat pemerintah.
“Jika militer digunakan untuk melayani kepentingan penguasa, bukan untuk menjaga kedaulatan rakyat, maka kita sedang menuju ke arah yang keliru. Sudah saatnya kebijakan ini dikaji ulang dengan lebih transparan dan demokratis,” tutupnya.
(nald)