- iklan atas berita -

 

MetroTimes (Surabaya) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) secara resmi dimulai secara bertahap di 26 provinsi di Indonesia pada Senin, (6/1/2025). Dengan anggaran per hari dipatok sebesar Rp 10.000 per porsi. Ramai unggahan yang membagikan bagaimana menu MBG di berbagai daerah. Mulai dari sayur-mayur, lauk-pauk, hingga nasi.

Berpacu pada unggahan MBG di Sidoarjo, dosen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Airlangga (UNAIR), Lailatul Muniroh SKM MKes memberikan tanggapannya. Menurutnya, beberapa masih belum sesuai dengan pedoman Isi Piringku yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.

“Kemarin saya dapat kiriman contoh menu MBG di Sidoarjo. Jika dilihat sekilas, nampak belum memenuhi Isi Piringku. Tidak ada sayuran, lauk meski dengan protein hewani pun, secara kuantitas terlalu sedikit, begitupun buahnya. Secara kuantitas belum memenuhi 40 persen total kalori sehari, dan secara kualitas pun masih belum sesuai,” terang Lailatul.

Ia pun menambahkan bahwa prinsip makan bergizi ialah beragam, seimbang, aman, dan sesuai kebutuhan. “Makan bergizi yang baik seharusnya memenuhi kebutuhan gizi secara seimbang. Baik karbohidrat, protein, lemak, dan terpenuhinya kebutuhan vitamin, mineral, serat, dan air,” ungkapnya.

ads

Absennya Susu, Alternatif Lain Tinggi Kalsium

Masyarakat pun turut mengomentari terkait ketidakhadiran susu sebagai sumber kalsium dalam program MBG di beberapa daerah atau sekolah. Padahal, susu memiliki kandungan zat gizi yang banyak. Seperti kalsium, protein, vitamin D, vitamin A, zat besi, hingga magnesium.

Lailatul selaku ahli gizi pun setuju terkait hal tersebut. Dirinya menyampaikan bahwa susu sangat baik dan dibutuhkan dalam masa pertumbuhan anak. Namun ternyata, dengan ketidakberadaan susu pada menu MBG di beberapa sekolah dapat digantikan oleh makanan tinggi kalsium lainnya.

“Sebagai alternatif lain, perlu disiapkan misalnya produk olahan susu seperti yogurt atau keju, sumber nabati yang kaya kalsium. Seperti tempe, sayuran hijau, ataupun sumber hewani seperti ikan teri, sarden, telur, dan daging ayam,” ungkapnya.

Namun demikian, Lailatul juga menekankan pentingnya untuk memastikan apakah alternatif tersebut tetap bergizi seimbang dan dapat diterima oleh siswa. “Sehingga, kebutuhan gizi mereka tetap terpenuhi meskipun tanpa hadirnya susu,” tuturnya.

Evaluasi Program secara Berkelanjutan

Program MBG bisa menjadi langkah kecil untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, evaluasi dan upgrade program dari hari ini sangat diperlukan. Lailatul pun berpendapat bahwa perlu adanya evaluasi dan perbaikan secara berkala. Karena fakta pelaksanaan di lapangan tentu jauh lebih sulit.

Evaluasi keberhasilan program MBG dapat dilakukan dengan meliputi aspek input dan proses, output, dampak, hingga evaluasi keberlanjutan. Pada aspek yang pertama, perlu adanya evaluasi ketersediaan dan kualitas makanan, serta kepuasaan dari penerima program MBG.

“Mulai dari jumlah siswa yang mendapatkan makanan apakah sudah sesuai dengan sasaran, kandungan gizi pada menu berdasarkan pedoman Isi Piringku. Kemudian tingkat penerimaan siswa terhadap rasa dan variasi makanan, kepuasaan guru, siswa, dan orang tua, dan tingkat keluhan terkait dengan distribusi makanan,” terang Lailatul.

Kemudian, output dari program pun harus jadi perhatian. Mulai dari persentase makanan yang dimakan dan dibuang oleh siswa (plate waste analysis), serta jumlah siswa yang memakan semua komponen makanan yang ada di piring.

Pada segi dampak, Laila merangkum setidaknya ada tiga indikator yang perlu dievaluasi. Mulai dari status gizi pada anak, prestasi akademik dan kesehatan, dan kesadaran gizi.

(nald)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!