Metro Times (Purworejo) Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan yang kini sedang digodok oleh DPR dan Kemenkes dinilai merugikan petani dan industri tembakau. Pasalnya, dalam RUU tersebut tembakau dinilai setara dengan zat adiktif lainnya seperti narkotika hingga minuman beralkohol. Hal itu menjadi sorotan Anggota Komisi IV DPR RI Vita Ervina yang selama ini fokus menyerap aspirasi para petani. Vita meminta agar RUU yang mengatur soal tembakau tersebut harus dikaji lebih lanjut agar tidak merugikan petani tembakau. Selain itu, Vita juga meminta agar tembakau tidak disamakan dengan narkotika.
Yang paling menonjol RUU tersebut kata Vita, adalah pasal 154 tentang ruang lingkup zat adiktif pada hasil olahan tembakau. Mengingat, dalam draft usulan RUU Kesehatan tersebut, khususnya Pasal 154 Ayat 3 tertulis “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dapat berupa: (a) narkotika; (b) psikotropika; (c) minuman beralkohol; (d) hasil tembakau; dan (e) hasil pengolahan zat adiktif lainnya”. Pasal tersebut secara tegas menyamakan hasil olahan tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair dengan zat adiktif yang terdapat dalam narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol.
Lebih lanjut Vita Ervina menjelaskan bahwa menyamakan tembakau dan narkotika dalam satu definisi kelompok zat adiktif itu terlalu berlebihan. “Ini pembahasannya di RUU Kesehatan, tapi salah satunya di pasal 154 ayat 3, menyamakan tembakau sebagai salah satu zat adiktif, ini yang perlu kita sikapi, kemudian ada pasal yang diskriminatif lagi, bahwa untuk produksinya, peredarannya dari hasil tembakau ini malah harus diatur lebih lanjut lagi. Kesehatan juga penting, tetapi nasib petani tembakau juga penting,” kata Vita dalam sosialisasi perlindungan dan pemanfaatan lahan pertanian di Plaza Hotel Purworejo baru baru ini.
Menurutnya tembakau adalah tanaman yang legal. Produksinya, peredaran dan penggunaannya pun legal. Nikotin yang terkandung dalam tembakau merupakan zat adiktif yang sah, begitupula kafein pada kopi, teh dan minuman energi. Zat adiktif pada rokok tidak sebanding dengan zat adiktif yang terdapat pada narkotika seperti morfin, heroin, kokain dan ganja.
Pasal kontroversial lainnya adalah Pasal 154 Ayat 5 yang berbunyi “Produksi, peredaran dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 huruf (d) dan huruf (e) harus memenuhi standar dan atau persyaratan kesehatan.
“Mengapa hanya hasil tembakau dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya yang harus memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sedangkan untuk narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol tidak disebutkan. Pasal ini jelas sangat diskriminatif dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi petani, pekerja, buruh, konsumen atau seluruh ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT),” ujar Vita.
Ia mengaskan, Jika pasal ini diloloskan, maka itu sama saja memberi predikat buruk bahwa petani tembakau sama dengan petani ganja. Mereka bahkan juga disebut sebagai penyebab penyakit hingga kematian yang menghabiskan paling banyak dana kesehatan. “Jadi batalkan saja pasal tembakau yang samakan Narkotika dan Miras dalam RUU Kesehatan” tegas Vita.
Petani tembakau, menurut Vita adalah salah satu penyumbang devisa. Tembakau memberikan konstribusi yang sangat besar bagi perekonomian nasional. Penerimaan APBN dari cukai rokok pada tahun 2023 mencapai Rp 218 triliun rupiah. Jika ditambah dengan pajak tembakau bisa mencapai Rp 280 triliun. Tapi nasib kesejahteran petani dan buruh tembakau masih memprihatinkan.
Sebagai anggota DPR RI dari Dapil Jateng VI yang berada di daerah sentra penghasil tanaman tembakau, Ia berharap RUU Kesehatan yang disusun tidak menimbulkan kerugian bagi ekosistem industri hasil tembakau dan tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan aspek kesejahteraan ekonomi masyarakat.
“Ini masih digodog di Baleg, ini tidak masuk komisi saya, ini RUU Kesehatan, jadi komisi VIII, jadi saya hanya menyoroti disitu (tembakau) saja. Ekosistemnya, pasti kena semua, nanti kalau mereka (petani) produksi malah dipenjara,” pungkasnya. (dnl)