Metro Times (Purworejo) Kantor Pertanahan/BPN Kabupaten Purworejo terpaksa menunda musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian atas tanah warga serta milik pemerintah Desa Jogoboyo yang terkena dampak proyek pengendali banjir kawasan Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Purworejo.
Sebagaimana diketahui pada Kamis (21/11) BPN kembali memfasilitasi kegiatan musyawarah bagi warga terdampak proyek tersebut. Muswarah pertama dilaksanakan di Aula Balai Desa Bapangsari, Kecamatan Bagelen untuk warga Desa Bagelen, Bugel, Bapangsari dan Purwosari (Kecamatan Purwodadi) sebanyak 16 bidang.
Musyawarah kedua dilaksanakan di Aula Kantor Desa Jogoboyo, Kecamatan Purwodadi untuk warga Desa Jogoboyo (16 bidang) dan warga Watukuro sebanyak 6 bidang.
Musyawarah dengan agenda serupa juga telah digelar sehari sebelumnya di Desa Tunjungan untuk membahas nilai ganti rugi tanah sebanyak 58 bidang di Desa Jogoboyo, Wasiat, Tunjungan serta Pejagran.
Musyawarah di Desa Jogoboyo pada Kamis (21/11) ditunda karena sejumlah warga pemilik tanah tidak setuju dengan harga yang ditetapkan oleh Kantor Jasa Penilai Publik Muttaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun & Rekan (KJPP MBPRU) Yogyakarta. Sedangkan warga Desa Watukuro semua menyatakan setuju dengan harga tanah serta tanam tumbuhnya.
Salah satu warga yang tidak setuju adalah Totok Sutrisno dengan alasan tanah di desanya dihargai jauh di bawah tanah warga Desa Jangkaran, Kapanewon (kecamatan) Temon, Kabupaten Kulon Progo, DIY yang juga terdampak proyek yang sama.
“Ganti rugi Desa Jangkaran per meternya dihargai Rp1,8 juta, itu tanah kosong tidak berpenghuni. Sedangkan di sini tanah masih ditempati kok dihargai Rp800.000 per meter. Lokasi hanya terpisah Sungai Bogowonto, bedanya apa? Kalau dibilang ini untuk kepentingan negara, Jangkaran itu Indonesia, Jogoboyo ya Idonesia, kok kami dibedakan,” kata Totok mewakili warga lainnya.
Ia melanjutkan, dengan harga seperti saat ini, bukan ganti untung yang didapat, tapi malah memberikan kerugian bagi mereka.
“Bukan ganti untung ini, kami malah rugi. Tolok ukurnya kami ya Desa Jangkaran, di sini tanahnya berpenghuni, ditempati. Kalau tidak bisa naik ya jangan digusur,” tegas Totok.
Pemilik tanah lain adalah Kristina, warga yang berasal dari Sulawesi. Tiga tahun lalu, ia membeli tanah di dekat Pasar Jogoboyo. Tanah yang saat itu dibeli dengan harg Rp560 juta berniat untuk investasi. Saat itu, dia juga belum mengetahui terkait rencana proyek pengendali banjir di lokasi itu.
“Saya beli tanah seharga Rp560 juta. Rencananya mau saya bikin ruko untuk investasi karena di sini dekat dengan Bandara YIA. Karena untuk inves lebih bagus di sini (Purworejo) dari pada di timur sungai (Kulon Progo). Tapi sekarang katanya mau dibuat proyek. Tanah saya kena dampak, tapi hanya dihargai Rp300 juta lebih. Saya rugi, apa bisa masuk harga segitu? Saya hanya ingin harganya diperbaiki,” kata Kristina.
Tak hanya tanah milik warga, bahkan Pasar Jogoboyo milik Pemdes pun terdampak dan dihargai sangat jauh dari harga tanah di desa tersebut sekarang ini.
“Dengan harga Rp1,5 juta, pasar mau dipindah ke mana? Tidak ada sekarang harga tanah di lokasi strategis segitu di Jogoboyo. Maka Pemdes sepakat menolak,” kata Kades Jogoboyo, Joko Wahyana.
Terpisah, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) yang juga Kepala Kantor Pertanahan/BPN Purworejo, Andri Kristanto memutuskan untuk menunda musyawarah.
“Warga Jogoboyo yang terdampak mempertanyakan harga tanah. Kalau harga tanam tumbuh tidak masalah, sudah sesuai Perbup. Musawarah penetapan saya tunda karena warga di Desa Jogoboyo belum setuju. Warga akan kami undang di musyawarah berikutnya, minggu depan,” kata Andri.
Ia menindaklanjuti hasil musyawarh itu pihaknya akan segera melakukan rapat dengan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) selaku instansi yang memerlukan tanah serta KJPP MBPRU untuk membahas masalah ini.(dnl)