- iklan atas berita -

Quo vadis Mahkamah Konstitusi
Prof. Dr. Martitah, M.Hum (Guru Besar FH UNNES)

Mahkamah Konstitusi lahir dari rahim reformasi guna mengatasi persoalan ketatanegaraan yang tidak dapat terselesaikan selama masa orde baru seperti penegakkan hukum dan HAM, Demokrasi, dan permasalahan ketatanegaraan lainnya.

Adapun sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide constitutional review dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.

DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.

Sebagai peradilan konstitusi, MK memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebagai berikut:
1.      Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.
2.      Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
3.      Memutuskan pembubaran partai politik.
4.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk juga pilkada
5.      Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut UUD.

ads

Beberapa peran dan fungsi MK antara lain:
1.      The Guardian of the Constitution. Karena lahir dari rahim reformasi, MK diberikan amanat dan tugas untuk menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.      The Guardian of Democracy. MK juga diberikan tugas untuk mengawal proses demokrasi agar berjalan sesuai dengan koridor sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 dan Pancasila.
3.      The Guardian of State Ideology. MK memainkan peran penting dalam menjaga ideologi negara agar tidak tergerus oleh paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila semisal paham komunisme, leninisme, liberalisme, dan cauvinisme.
4.      The Protector of Human Rights. MK memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi masyarakat Indonesia terutama dari ronrongan pembentuk undang-undang.
5.      The Protector of Citizen of Constitutional Rights. Hampir semua isi konstitusi berkaitan dengan HAM terutama hak konstitusional warga negara. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bagi Mahkamah untuk melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak konstitusional warga negara tersebut.
6.      The Final Interpreter of The Constitution. Mahkamah sebagai garda terakhir dalam menafsirkan konstitusi. Pada dasarnya setiap orang maupun lembaga dapat menafsirkan konstitusi menurut pemahamannya masing-masing, namun Mahkamah Konstitusi lah yang menjadi penafsir final. Artinya, apabila terjadi sengketa penafsiran atas berlakunya sebuah undang-undang, maka MK yang menjadi penengah dan menafsirkannya.

Polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) berakhir dengan diputusnya permohonan yang diajukan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.

Beberapa isu strategis yang muncul dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang menghebohkan masyarakat diantaranya:
1)     Overulling Putusan MK
2)     MK Positive Legislator
3)     Open Legal Policy
4)     Konflik Kepentingan (conflict of Interest)
5)     Concuring atau Dissenting
6)     Putusan Final dan Mengikat

Overulling Putusan MK
Apakah MK boleh Overruling atau berubah pendirian…? Secara faktual dan praktik MK dapat berubah pendirian dalam menilai isu konstitusionalitas terhadap suatu permasalahan yang sama. Perubahan putusan MK harus didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah Masyarakat. Meskipun demikian, tidak semua praktik overruling tersebut justifiable, seab perlu adanya justifikasi dari aspek sosiologis, hukum, dan moral. Beberapa putusan MK yang overrulindiantaranya:
1)     Putusan MK terkait model Pemilu Serentak 55/PUU-XVII/2019 mengubah Putusan MK 14/PUU-XI/2013.
2)     Putusan MK terkait Badan Peradilan Khusus Pilkada 85/PUU-XX/2022 Mengubah Putusan MK 97/PUU-XI/2013
3)     Putusan MK 36/PUU-XV/2017 dan 36/PUU-XV/2017 telah menafsirkan kelembagaan KPK sebagai bagian  dari  lembaga  eksekutif,  padahal  dalam  4  (empat)  putusan  sebelumnya  yaitu Putusan  016-017-019/PUU-IV/2007, 19/PUU-V/2007, /PUU-VIII/2010, dan 5/PUU-IX/2011, Mahkamah  Konstitusi  menyatakan  bahwa  KPK  sebagai  lembaga  independen yang tidak masuk dalam sistem kekuasaan eksekutif, yudikatif maupun legislatif.

Beberapa justifikasi yang mungkin dapat digunakan dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 diantaranya:
1)     MK mengedepankan prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara adil, rasional, dan akuntabel.
2)     Bonus demografis penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah generasi milenial dan generasi Z, sehingga sangat rasional apabila mereka menginginkan adanya calon pemimpin dari kalangan milenial (muda)
3)     Kepemimpinan dunia yang saat ini banyak di dominasi pemimpin dibawah 40 tahun saat mereka dilantik. Misalnya Gabriel Boric Presiden Chile diangkat di usia 35 tahun, Vjosa Osmani Presiden Kosovo diangkat di usia 38 tahun, dan Emmanuel Macron Presiden Prancis diangkat di usia 39 tahun.
4)     Secara faktual, Indonesia pernah dipimpin oleh Sutan Sjahrir sebagai perdana ,enteri yang diangkat di usia 36 tahun
5)     Secara historis, Konstitusi RIS, UUD 1950, dan UU terdahulu mengatur batas usia minimum capres/cawapres dibawah 40 tahun
6)     Secara komparatif, banyak sekali negara-negara di dunia yang mengatur batas usia minimum capres/cawapres dibawah 40 tahun di dalam konstitusinya.
7)     Pembentuk undang-undang dalam menetapkan batas usia minimal 40 tahun terbukti melanggar prinsip kepastian hukum yang adil karena sebelumnya pembentuk undang-undang telah menentukan syarat usia minimum 35 tahun bagi calon Presiden dan wakil presiden sebagaimana dalam UU 42/2008. Jika ketentuan UU 42/2008 berlaku saat ini, maka akan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada generasi muda yang hendak mengikuti kontestasi dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, namun pembentuk undang-undang justru menaikan batas usia tersebut menjadi 40 tahun dalam UU 7/2017, yang dalam batas penalaran yang wajar, justru menghilangkan kesempatan yang secara adil dan rasional yang seharusnya diberikan pada generasi muda. Sehingga, naiknya batas usia minimum presiden/wakil presiden dari 35 tahun (UU 42/2008) menjadi 40 tahun (UU 7/2017) sejatinya telah melanggar prinsip kepastian hukum yang adil.
8)     Batas usia minimal dibawah 40 tahun tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena sifat jabatan presiden dan wakil presiden adalah jabatan yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan, yang untuk mendudukinya memerlukan kualifikasi jabatan yang sebelumnya pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum. Kualifikasi jabatan tersebut penting untuk dijadikan sebagai alternatif dari syarat usia minimal karena figur yang pernah terpilih dalam pemilihan umum artinya adalah figur yang pernah terbukti mendapat kepercayaan dari pemilih (rakyat). Oleh karena itu, pembatasan usia minimal 40 (empat puluh) tahun tidak saja menghambat atau menghalangi generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional namun juga mendegradasi generasi muda dalam karir politiknya. Seharusnya, usia dibawah 40 tahun sepanjang pernah menjabat jabatan elective office dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik pengusung dan pada akhirnya ditentukan oleh pemilih (rakyat). Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang bersifat elective office, sehingga dalam batas penalaran yang wajar jabatan elective office telah diakui dan mendapatkan legitimasi dari rakyat bahwa figur/orang tersebut mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik.
9)     Andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada tidak serta merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih terdapat dua pintu utama syarat konstitusional yang harus dilalui yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa Pasangan  calon Presiden  dan  Wakil Presiden diusulkan  oleh  partai  politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sehingga, meskipun seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara namun tidak diusung atau diusulkan oleh  partai  politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh  partai  politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional lanjutan yaitu Pasal 6A ayat (1) yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih  dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

MK Positive Legislator

MK secara normatif berperan sebagai negative legislature, yang berfungsi mencabut norma dalam konstitusi sebagaimana yang disampaikan Hans Kelsen “A court which is competent to abolish laws-individually or generally-function as a negative legislature”. Kesimpulan Kelsen merujuk bahwa yuridiksi konstitusional menyelesaikan “purely juridical mission, that of interpreting the Constitution” dengan kewenangan menyatakan undang-undang inkonstitusional. Allan Brewer-Carías pun menyatakan hal yang sama, bahwa MK pada prinsipnya tidak memiliki kekuasaan apapun untuk memodifikasi atau merebut kekuasaan organ lainnya, seperti eksekutif atau legislatif. Sebaliknya kondisi tersebut dianggap sebagai patologi dalam judicial review Meskipun putusan MK bersifat mengatur yang berada di luar kewenangan sebagai lembaga yudikatif, namun hakim MK menunjukan progresivitas dalam mengkonstruksikan upaya hukum dalam putusan PKPU. Sebagaimana pendapat mantan Hakim MK, Laica Marzuki, mengenai pergeseran MK sebagai positive legislature, “bahwa biarkan MK membuat putusan yang bersifat mengatur, sebagai inovasi atau pembaharuan sesuai dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat, inilah yang disebut judicial activism.” MK dalam membuat putusan yang bersifat positive legislature mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanfaatan masyarakat, situasi yang mendesak dan mengisi rechtvacuum untuk mengantisipasi terjadinya chaos.

Pergeseran MK dari negative legislature menjadi positive legislature, bukanlah hal baru yang ditemukan pada Putusan 90/PUU-XXI/2023. Beberapa Putusan MK sebelumnya yang dapat dikategorikan sebagai landmark decision, antara lain:
a.      Putusan MK Nomor 005/PUU-V/2007
Putusan MK Nomor 005/PUU-V/2007 menyatakan pasal dan/atau ayat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD NRI 1945. Putusan tersebut membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi persyaratan untuk maju dalam Pilkada.
b.      Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009
“Pilpres boleh memakai KTP atau Paspor”, itulah kiranya rumusan kalimat singkat yang tepat untuk menggambarkan amanat dari Putusan 102/PUU-VII/2009. Putusan tersebut merupakan pengujian atas Pasal 28 dan Pasal 111 UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Diputus konstitusional bersyarat, MK menentukan bahwa warga negara yang tidak terdaftar DPT dapat menggunakan KTP atau Paspor.
c.      Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010
Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 bertanggal 18 Maret 2010, MK membuat norma baru terkait dengan proses pemilihan anggota Panwaslu Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi dan Kabupaten/Kota. Menindaklanjuti putusan MK tersebut, KPU mengeluarkan Surat Edaran Nomor 162/KPU/III/2010 kepada KPU/KIP Provinsi maupun KPU/KIP Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
d.      Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014
Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD NRI 1945, diputus bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Implikasinya, MK menambah norma baru yakni ‘penetapan tersangka’ sebagai objek baru dalam praperadilan.

Dasar konstitusional mengeluarkan putusan positive legislatur adalah pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Sehingga, MK dalam menegakan hukum dan keadilan tersebut harus mampu dan berani menerobos keluar dari sisi-sisi normative demi mengejar keadilan yang substantif. Dalam sejarahnya, konsep Mahkamah Konstitusi itu sendiri pun lahir dari putusan yang positive legislator bahkan ultra petita (kasus Marbury vs Madison).

Open Legal Policy

Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan secara tegas memisahkan kewenangan yang bersifat isu/problem konstitusi (limited constitutional dalam UUD 1945) dan isu/problem kebijakan strategi (open legal policy). Menurut Mahkamah, adanya ketentuan (norma) yang merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yaitu ketika suatu norma undang-undang masuk ke dalam kategori kebijakan hukum terbuka maka norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional atau bersesuaian dengan UUD 1945. Kebijakan hukum terbuka/open legal policy atau norma yang berada di wilayah konstitusional/bersesuaian dengan UUD, membebaskan pembentuk undang-undang untuk menafsir dan menuangkan dalam suatu undang-undang tertentu.

Dalam sejarahnya, konsep open legal policy pertama kali dipergunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Mei 2005. Pada putusan tersebut, Mahkamah secara eksplisit menyebutkan istilah pilihan kebijakan hukum.

Selanjutnya pada Putusan nomor 16/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 November 2007, Mahkamah secara implisit mulai menyebut istilah kebijakan hukum pembentuk undnag-undang sebagai berikut “…setidak-tidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya,…”. Setelahnya, istilah kebijakan hukum pembentuk undang-undang kerapkali digunakan oleh Mahkamah dalam putusan-putusan lainnya ketika hendak memaknai konstitusionalnya suatu pasal, norma, atau undang-undang yang sejatinya merupakan keleluasaan pembentuk undang-undang untuk membuat aturan tersebut. Sebab, konstitusi memang terkadang tidak memuat suatu aturan yang secara spesifik dan eksplisit mengatur suatu dasar konstitusional kebijakan publik yang memberi dasar bagi pilihan kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi dasar kewenangan bagi pembuat undang-undang untuk menjabarkannya lebih jauh dalam suatu undang-undang sebagai pengaturan lebih lanjut. Mahkamah memberi keleluasaan pembentuk undang-undang dalam menentukan suatu aturan, larangan, kewajiban, dan batasan yang akan dimuat dalam suatu undang-undang dapat dilakukan dan tunduk dalam 3 (tiga) syarat, yaitu tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang seperti melakukan perubahan/amendemen terhadap UUD 1945, serta tidak termasuk dalam penyalahgunaan kewenangan.

Namun sejatinya, segala hal yang memiliki relasi baik intrinsik maupun ekstrinsik dengan UUD 1945 pada dasarnya merupakan problem konstitusi sehingga konsep open legal policy perlu dikaji ulang. Bahkan dalam beberapa putusan terakhir, Mahkamah dapat mengesampingkan open legal policy dengan memberikan tafsir ulang terhadap batas usia pensiun dan batas usia minimum bagi penyelenggara negara sepanjang hal tersebut jelas-jelas telah melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, dan/atau bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana termaktub dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam pengujian usia minimal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan juga pada pokoknya dalam Putusan Nomor 70/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun bagi jaksa, dan juga Putusan Nomor 121/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun Panitera di Mahkamah Konstitusi. Artinya, keberadaan open legal policy meskipun bersifat konstitusional, namun dalam praktiknya, Mahkamah dapat memberi tafsir ulang terhadap keberadaan open legal policy dimaksud bahkan dapat menjadikannya inkonstitusional. Secara konseptual, open legal policy tetap berlaku sepanjang pasal, norma, atau undang-undang tidak diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi.

Manakala suatu pasal, norma, atau undang-undang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka legal policy pembentuk undang-undang meskipun masih tetap konstitusional berdasarkan asas presumption of constitutionally, namun konsep dimaksud ketika sampai di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka tentu menjadi domain Mahkamah untuk menilai dan mengkaji ulang dengan bersandar pada UUD 1945, nilai-nilai keadilan, dan HAM. Dalam hal ini Mahkamah dapat menilai konsep open legal policy apakah masih relevan ataukah tidak relevan sehingga menyebabkan adanya penafsiran baru terhadap pasal, norma, frasa, atau undang-undang yang sedang diuji konstitusionalitasnya. Dengan kata lain, konsep open legal policy pada prinsipnya tidak bersifat mutlak dan tidak relevan lagi dijadikan sebagai argumentasi Mahkamah ketika menolak suatu permohonan.

Dalam konteks demikian, Mahkamah harus tegas menerima atau menolak suatu perkara berdasarkan UUD 1945, hukum dan Keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga Mahkamah dalam memutus perkara harus menggunakan nilai-nilai konstitusi dan nilai-nilai keadilan, bukan justru mengembalikan kembali kepada pembentuk undang-undang dengan alasan open legal policy. Terlebih lagi, apabila DPR maupun Presiden telah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutus hal dimaksud, maka dalam keadaan demikian, adalah tidak tepat bagi Mahkamah untuk melakukan judicial avoidance dengan menghindar menyelesaikan sebuah persoalan yang secara nyata telah menjadi isu konstitusional. Mahkamah sebagai lembaga peradilan, sesuai dengan kewenangannya, memiliki fungsi untuk menyelesaikan perselisihan (to resolve dispute) dan menuntaskan perbedaan tafsir dengan memberikan tafsir akhir berdasarkan konstitusi.

Konflik Kepentingan (conflict of Interest)

Pasal 17 ayat (3), (4) dan (5) UU Kekuasaan kehakiman
1)     …..
2)     …..
3)     Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
4)     Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
5)     Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Ingat, Mahkamah mengadili norma bukan mengadili perkara konkret. Dimanakah letak konflik kepentingannya?
Ini bukan kali pertama Mahkamah memiliki konflik kepentingan. Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang melanggar Larangan Konflik Kepentingan serta melanggar asas nemo judex idoneus in propria causa, karena hakim berkepentingan langsung dari pengujian norma UU tersebut, sebagai berikut:
1. Putusan 005/PUU-IV/2006
Pengujian UU KY dan UU Kekuasaan Kehakiman
Amar Putusan : Mengabulkan Sebagian
KY tidak berwenang mengawasi Hakim MK
2. Putusan 1-2/PUU-XII/2014
Pengujian UU 4/2014 tentang Penetapan Perpu 1/2013 tentang MK
Amar Putusan : Mengabulkan Seluruhnya
UU 4/2014 bertentangan dengan UUD 1945
3. Putusan 96/PUU-XVIII/2020
Pengujian UU MK
Amar Putusan : Mengabulkan Sebagian
Pasal 87 hururf a UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945.

Concuring atau Dissenting

Pasal 45 ayat (1) UU MK hanya mengenal istilah pendapat berbeda (dissenting). Sementara itu, Peraturan MK 2/2021 membedakan antara pendapat berbeda (dissenting) dengan alasan berbeda (concurring opinion).

Pertanyaannya, Apakah alasan berbeda (concurring opinion) merupakan bagian dari pendapat berbeda (dissenting)  ataukah keduanya terpisah?
Jika dibaca secara normatif, seharusnya alasan berbeda (concurring) merupakan bagian dari pendapat berbeda (dissenting). Namun praktik dan kebiasaan di MK, alasan berbeda (concurring opinion) berbeda dari pendapat berbeda (dissenting). Alasan berbeda (concurring opinion) muncul manakala terdapat hakim yang mengabulkan tetapi dengan alasan yang berbeda, sedangkan pendapat berbeda (dissenting) muncul manakala terjadi perbedaan pendapat dimana tidak sependapat dengan mayoritas hakim dalam memutus perkara.

Dalam perkara 90/PUU-XXI/2023, alasan berbeda (concurring opinion) yang disampaikan cenderung menjurus pada pendapat berbeda (dissenting). Apalagi terdapat perbedaan amar pada hakim yang beralasan berbeda. Oleh sebab itu, saya berpandangan, hakim kurang cermat dalam memutus perkara ini, sebab alasan berbeda (concurring opinion) yang disampaikan dimana amarnya pun berbeda seharusnya menjadi pendapat berbeda (dissenting). Sehingga, dalam perkara ini, letak permasalahnnya sebenarnya dimulai dari adanya alasan berbeda (concurring opinion) yang disampaikan cenderung menjurus pada pendapat berbeda (dissenting) sehingga merubah komposisi hakim dalam memutus perkara.

Putusan Final dan Mengikat

Putusan MK bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur secara konstitusional dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sehingga, putusan MKMK seharusnya tidak megomentari putusan MK terlebih membatalkan putusan MK nantinya. Apapun putusannya, seharusnya masyarakat menghormatinya, sebab putusan sebagai “mahkotanya” hakim diputus dengan perenungan yang mendalam dan sudah dibahas secara mendalam dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) oleh hakim yang notabene adalah “negarawan”. Di dalam UUD 1945, jabatan publik yang di sebut ‘negawaran’ hanyalah hakim MK.

Bagaimana cara Mengembalikan Kembali Marwah MK?
1)     Segera mempermanenkan Majelis Kehormatan MK untuk mengawasi perilaku hakim MK
2)     Hakim MK dalam mengadili perkara yang memuat unsur konflik kepentingan, maka harus mundur dari perkara yang ditanganinya
3)     Harus ada rasa saling mengingatkan diantara para hakim Konstitusi terutama terkait adanya indikasi konflik kepentingan
4)     Revisi UU MK sebab seolah-olah Hakim MK tidak tunduk pada UU kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu revisi UU MK dengan memuat:
5)     Hakim MK tidak boleh memiliki hubungan darah/semenda sampai derajat ketiga dengan pembentuk undang-undang.
6)     Hakim MK tidak boleh membocorkan rahasia RPH baik secara tidak langsung maupun secara langsung apalagi dalam dissenting putusan. (Prof. Dr. Martitah, M.Hum).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!