- iklan atas berita -

MetroTimes (Surabaya) – Melandainya kurva pasien Covid-19 tidak lepas dari jasa tenaga kesehatan yang telah berjuang di bidangnya. Dr Alfian Nur Rosyid Sp P, dokter spesialis paru Rumah Sakit Universitas Airlangga, mengisahkan perjuangan tenaga kesehatan dalam menangani pasien Covid-19.

Dirinya menyampaikan hal tersebut pada gelaran Pameran Arsip Pandemi Covid-19 UNAIR, Jumat (6/1/2023). Dr Alfian sempat menghadapi berbagai kendala ketika menjadi bagian dari satgas penanganan Covid-19.

“(Dulu, red) masih ada yang menganggap Covid-19 itu konspirasi. Padahal sangat berbahaya,” ujarnya menyayangkan.

Itu disebabkan oleh banyaknya kasus pasien Covid-19 yang tidak mengalami gejala. Disebut dengan Orang Tanpa Gelaja (OTG), kasus mereka mencapai 30-40 persen dari keseluruhan kasus.

“Orang yang terjangkit bisa jadi tidak bergejala. Itu menjadi polemik waktu itu,” kenang Dr Alfian.

ads

Selain kurang edukasi, masyarakat Indonesia pada saat itu dinilai kurang persiapan. Hal itu disebabkan oleh berbagai pendapat tidak saintifik di media sosial, yang menyebutkan bahwa virus corona tidak bisa hidup di Indonesia yang beriklim tropis.

“Awal dulu ada ungkapan di media sosial Indonesia ndak bakal kena Covi19. Tapi ternyata masuk juga. Karena transmisinya mudah sekali. Saat datang, kita tidak siap. Sistem kesehatan juga belum siap,” tutur dosen Fakultas Kedokteran UNAIR tersebut.

Dari sana, banyak sekali pasien yang denial bahwa dirinya dinyatakan Covid-19. Apalagi saat itu Covid-19 dilihat sebagai aib.

“Secara sosial kadang sulit untuk meyakinkan masyarakat, pasien, dan keluarganya bahwa ini bener Covid. Gejalanya mengarah, hasil SWAB-nya positif, tapi ada yang denial. Bahkan ada yang minta pulang paksa,” terang peneliti pulmonologi tersebut.

Untuk mengatasi hal tersebut, satgas Covid-19 RS UNAIR membuat tim yang bertugas khusus untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga pasien. Tim tersebut terdiri atas dokter, perawat, hingga psikiater dan forensik.

Pernah suatu ketika, cerita Dr Alfian, satu keluarga pasien membawa LSM karena denial. Akan tetapi, setelah mendapatkan edukasi, LSM tersebut justru membantu menjelaskan kondisi pasien kepada keluarga.

“Awalnya dia (LSM, red) datang untuk membela pasien. Kemudian kita jelaskan, dan mereka akhirnya berbalik memberikan kepercayaan.”

Tidak hanya dari sisi pasien, masalah juga datang dari sisi tenaga kesehatan. Dr Alfian mengisahkan, banyak nakes yang terinfeksi dan bahkan meninggal karena Covid-19. Hal tersebut pasti berdampak pada psikis satgas.

“Fluktuatif secara psikis. Beberapa teman tenaga kesehatan ada yang sakit. Teman di tempat lain dikabarkan meninggal. Itu membuat down. Bahkan ada di luar negeri tenaga kesehatan mengundurkan diri dari tim covid,” cerita Dr Alfian.

Keadaan nakes yang down, ujar Dr Alfian, pasti berdampak pada kinerjanya. Pada kondisi seperti itu, pihaknya bekerja sama dengan psikiater untuk mengembalikan kondisi mental nakes. Selain dari sisi mental, kondisi fisik nakes juga dijaga. Dr Alfian mengatakan, satgas covid dibuatkan ruang asrama tersendiri untuk beristirahat agar tidak membahayakan keluarga di rumah.

“Untuk apa? Mereka dikembalikan secara fisik dan psikis untuk bisa kembali prima dan siap melayani pasien,” jelasnya.

Di akhir, dirinya menyebutkan bahwa tenaga kesehatan bukan merupakan garda terdepan dalam menghadapi Covid-19. Predikat tersebut dimiliki oleh masyarakat, yang diharapkan bisa menjaga diri mereka sendiri. (nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!