- iklan atas berita -

 

MetroTimes (Surabaya) – Beberapa hari terakhir marak pemberitaan tentang aksi kenakalan remaja mulai dari geng motor, kekerasan, hingga tindakan bullying.

Bullying bisa terjadi pada siapa saja, namun lebih sering dilakukan oleh anak usia remaja. Ada beberapa dampak bullying yang perlu diwaspadai karena bisa memengaruhi kesehatan mental korban maupun pelaku, seperti memicu timbulnya gangguan emosi, masalah mental, gangguan tidur, penurunan prestasi, dan lain sebagainya.

Isa Ansori pemerhati pendidikan dan perlindungan anak di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim menyampaikan, Jadi kalau melihat data tahun 2023, jumlah kasus kekerasan terhadap anak itu 1264 kasus, artinya rata-rata sehari bisa ada 4 kasus kekerasan terhadap anak. Jadi kalau berbicara di Jawa Timur ini bahwa ada warning darurat kekerasan terhadap anak.

Menurut Isa Ansori, Faktor pemicunya perundungan atau bullying ada banyak hal, yaitu pertama ketidak pahaman orang dewasa untuk memperlakukan anak. Lalu yang kedua lingkungan berperan menyebabkan terjadi kekerasan terhadap anak.

ads

“Kalau dilihat dari data yang ada 47% dari jumlah itu kekerasan terhadap anak itu terjadi di rumah, dan 27%nya terjadi di sekolah. Rumah dan sekolah itu sebetulnya tempat yang harusnya nyaman dan aman untuk anak-anak, tetapi ternyata menjadi tempat yang tidak aman. Berarti kalau disana ada orang dewasa / orangtua dan guru tidak paham memperlakukan anak itu seperti apa. Padahal kalau kita bicara tentang anak, maka anak itu pribadi yang harus dilindungi, harus dilayani, sehingga ketidakpahaman terhadap konsep itu bisa menjadikan orangtua dan guru itu memperlakukan anak itu bisa dengan atas nama pendidikan, atas nama agama, bisa atas nama sebagai orangtua, artinya boleh melakukan apa saja. Sementara Undang-Undang melarang, maka faktor itulah yang saya kira menjadi akar masalah dan belum pernah diselesaikan,” tandasnya.

“Negara hadir cuman dalam konsep-konsep administratif, tidak dalam bentuk membangun kesadaran. Nah itu yang terjadi, sehingga selama akar masalah tidak bisa diselesaikan membangun kesadaran, maka kekerasan terhadap anak masih tetap terjadi. Bahkan cenderung menjadi meningkat,” ungkapnya.

Isa menuturkan, Membangun kesadaran itu penting. Kita punya Undang-Undang Perlindungan Anak, ada unsur perlakukan anak dengan baik, tapi sebaik-baik apapun Undang-Undang / Peraturan kalau pelaksanaannya selama ini masyarakatnya tidak memahami secara utuh apa yang dimaksud dengan perlakuan anak dengan baik, maka akan tetap terjadi kekerasan.

“Seringkali orangtua karena merasa orangtua maka dia boleh memukul anaknya, menyakiti anaknya walaupun non fisik, padahal undang-undangnya melarang. Jadi selama itu tidak dibangun secara utuh melalui sosialisasi, dan melalui sistem hukum, maka ini akan terus berulang,” ujarnya.

Untuk menurunkan perundungan atau bullying, Isa Ansori mengatakan, ada dua hal terobosan yang perlu dilakukan yaitu, mensosialisasikan tentang pemahaman Undang-Undang, mengenai bagaimana memperlakukan anak dan yang kedua instrumen hukum harus tegas. Karena selama ini instrumen hukum tidak tegas, sehingga pelaku kekerasan terhadap anak, misalkan kekerasan seksual, mendapat hukuman maksimalnya 15 tahun, tapi instrumen hukum kadang-kadang tidak tegas dengan alasan apapun menjadi keringanan hukuman. Ini yang menyebabkan upaya untuk memberantas dan menekan kekerasan terhadap anak itu menjadi sia-sia.

Bullying dikalangan remaja sudah sangat mengkhawatirkan saat ini. Bullying sering terjadi di lingkungan sekolah, di masyarakat, bahkan bullying dikalangan remaja juga marak terjadi di sosial media yang disebut dengan cyberbullying.

Isa Ansori juga menyampaikan, maraknya penyebaran video perundungan atau bullying di media sosial (medsos) karena dorongan ego remaja yang masih mencari identitas, sehingga lupa kalau perbuatannya melanggar hukum Undang-Undang ITE.

Didalam Undang-Undang ITE, mencantumkan menyebarkan berita bohong, menyebarkan berita yang berpotensi menimbulkan keresahan itu ada larangannya. Tapi lagi-lagi kembali kepada masyarakat pengguna Medsos yang kadang-kadang masyarakat pengguna medsos tidak paham tentang itu. Sehingga kadang-kadang remaja ingin menjadi yang pertama dan ingin dianggap yang paling hebat. Dia tidak tahu RAS atau tidak, maka dia sebar aja video bullying yang akan berpotensi menjadi pemicu terjadinya kekerasan lagi, yang akan dicontoh oleh remaja di tempat lain.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

“Perkembangan hal-hal perundungan yang berpotensi kejahatan itu lebih besar di banding kemampuan untuk mengantisipasi. Sehingga yang perlu dilakukan kembali memberlakukan upaya penyadaran kepada siapapun, untuk tidak mudah menyebarkan berita bohong, atau menyebarkan berita-berita yang berpotensi kekerasan,” tegasnya.

Cyber bullying juga melanggar sila ke-2 Pancasila karena hak dan martabat seseorang tidak dihargai, dimana seorang individu diperlakukan tidak setara karena individu lain menganggap dirinya lebih baik dalam segi tertentu.

(nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!