- iklan atas berita -

Metro Times (Semarang) Mantan Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Salatiga, Muhammad Habib Shaleh, dihadiahi vonis pidana atas niatnya selamatkan uang negara akibat diduga di korupsi oleh sejumlah bawahannya. Hal itu terungkap usai sidang putusan di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (28/5/2019).

Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Andi Astara memutuskan, mengadili menyatakan terdakwa Habib Shaleh terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, majelis menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan membebankan denda sebesar Rp 300juta subsidair 2 bulan kurungan. Selain itu, menetapkan terdakwa tetap ditahan.
Atas putusan itu, terdakwa Muhammad Habib Shaleh, mengeret peran dari empat mantan bawahannya yang membuat bilyet palsu, diantaranya ada Dwi Widianto pernah menjabat direktur operasional, kemudian Sunarti pernah menjabat kepala kas, selanjutnya Herlina staf kepala kas dan Tri Andani.

“Jadi setiap ada pencairan deposito atau tabungan nilainya diatas Rp 200juta, harus membutuhkan otoritas dari direktur operasional, jabatan itu pernah dijabat Tri Retno, Dwi Widianto dan Asih Setianingsih,” kata terdakwa yang merupakan warga Jalan Kemuning, Kalicacing, Sidomukti, Kota Salatiga.

Dikatakannya, Dwi Widianto, Sunarti dan Herlina sudah di pecat semua. Adapun kronologi awal kasus itu sebenarnya terjadi saat ada pertemuan membahas terkait penyalahgunaan keuagan nasabah sekitar awal Februari 2018, setelah ditindak lanjuti dan terungkap ketiganya membuat bilyet palsu. Saat diperiksa, alasan ketiganya untuk menutup rekan-rekannya, padahal rekan-rekannya yang merasa menggunakan uang sudah mengembalikan.

ads

“Akhirnya saya melapor ke kejaksaan pada 21 Mei, namun tidak ada tindak lanjut, kemudian 4 Juni 2018 melapor lagi, setelah diperiksa dipersidangan mereka juga mengakui pesen bilyet 500 lembar, memalsukan tandatangan saya,”tandasnya.

Terdakwa juga menyesalkan, sisanya bilyet sudah diserahkan ke penyidik kejaksaan, namun jaksa penyidik di BAP justru tidak mencantumkan, kalau ketiganya melakukan pemalsuan bilyet. Melainkan justru dibuat seolah-olah bank yang mengeluarkan bilyet palsu.

“Padahal sisanya juga sudah diberikan ke jaksa. Namun di BAP seolah tidak ada peran ketiganya yang membuat bilyet palsu, semua seolah-olah yang membuat atas perintah saya,” bebernya.

Ia kemudian menegaskan, kalau memang atas perintah dirinya, mengapa harus memalsukan bilyet dan memalsukan tandatangan dirinya. Ia juga menyatakan tidak pernah memerintahkan baik lisan maupun tertulis. Bahkan tidak ada alat bukti yang membuat bilyet palsu dirinya. Kasus itu, diuraikannya, awalnya Dwi Widianto, saat diperiksa internal mengaku menggunakan Rp 1,9miliar, setelah diselidiki dan di nonjobkan, terungkap ternyata sampai Rp 3,9miliar.

“Waktu Rp 1,9 miliar, dia (Dwi) juga menyatakan mau mengganti dan membuat surat pernyataan, setelah ketemu Rp 3,9miliar, yang bersangkutan kami panggil lagi tidak ada titik temu, barulah saya melapor ke kejaksaan,”jelasnya.

Akhirnya, setelah melapor pada 21 Mei itu, terungkap bunga tidak dibayar oleh yang bersangkutan, kemudian ada beberapa nasabah komplain ke kantor. Kemudian 4 Juni dirinya melapor ada temuan menjadi Rp 16miliar bilyet palsu, setelah ditindaklanjuti terus berkembang menjadi Rp 24miliar. Pihaknya juga memastikan akan mengambil langkah hukum lanjutan, yakni banding, apalagi saat ini kasusnya juga didampingi Komunitas Mahasiswa Peduli Hukum (KOMPUH) Semarang, selain tim pengacara.

Selain itu, langkah hukum melaporkan pihak-pihak terkait ke kejaksaan, kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari perhitungannya berdasarkan audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ada 15 orang yang harus tanggungjawab. Bahkan pihaknya menegaskan, jaksa yang mengeledah juga akan di laporkan ke instansi aparat penegak hukum tersebut, dengan alasan jaksa yang mengeledah kantornya tanpa seizin Bank Indonesia (BI). Padahal, lanjutnya, aaturan BI jelas menyebutkan, barang siapa meminta data simpanan nasabah tanpa seizin tertulis BI, bisa dipidana sebagaimana Pasal 47 Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

“Pengeledahan jaksa dirumah saya juga tanpa seizin RT, harusnya disaksikan RT, melainkan jaksa datang saja malam, kamar anak saya juga digeledah, anehnya bukti tanda terima pengeledahan baru diberikan setelah 2 minggu usai pengeledahan. Jadi orang-orang yang ikut terlibat akan saya laporkan,”tandasnya.

Vonis itu lebih ringan dari tuntutan JPU Kejari Kota Salatiga, Nizar, yang menuntut terdakwa dengan pidana 8 tahun penjara serta denda Rp 500 juta. Selain itu, terdakwa juga dibebankan membayar uang pengganti sebesar Rp 12.508.233.563 subsidair 4 tahun penjara. Jaksa menilai Habib bersalah dengan Pasal 3 jo pasal 18 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan primair. (jon)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!