- iklan atas berita -

METRO TIMES ( Ambon ) Terkait pemberitaan media tentang penolakan warga Desa Suli, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah terhadap pembangunan fasilitasi pengelolaan limbah B3 medis dari fasyankes dan hasil evaluasi lapangan dan kajian akademik Majelis Pekerja Harian Sinode (MPHS) Gereja Protestan Maluku (GPM), perlu dijelaskan kegiatan pembangunan adalah insinerator bukan pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.Princip kerja insinerator tidak dapat disamakan dengan TPA sampah karena memiliki perbedaan dalam pengoperasian.

Pernyataan ini disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku. Drs Roy Corneles Siauta, M Si, dalam Press Release Rabu (27/10/2021) soal pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 medis dari fasyankes di Desa Suli Kabulaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Menurutnya, Insinerator adalah alat pembakaran untuk mengelola limbah padat yang mengkonversi materi padat menjadi materi gas dan abu. Prinsip kerja sebagai tempat pembakaran tertutup dengan suhu di atas 800 derajat celcius sehingga bahan yang dibakar tidak dapat didaur ulang lagi. Proses pengelolaan limbah B3 medis dengan Insinerator limbah telah dikemas dan ditutup dan diikat rapat sejak dari sumber untuk kemudian dilakukan pemusnahan melalui 3 tahapan proses incinerasi (pembakaran) pada insinerator.
” Pembangunan fasilitas pengelolaan limbah menggunakan insinerator di Desa Suli merupakan kebijakan pemerintah sebagai upaya penanggulangan keadaan darurat dimasa pandemi Covid 19 yang telah ditetapkan sebagai bencana non alam dalam Kepres No 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional. Mengingat tingginya tingkat penyebaran yang mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah limbah B3 medis termasuk Covid-19 yang harus dikelola sehingga tidak memperpanjang mata rantai penyebaran Covid-19 dan mengingat pula Provinsi Maluku tidak memiliki insinerator dengan kapasitas memadai untuk mengelolah limbah dimaksud serta kondisi wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil rentan terhadap pencemaran dan jauh dari pusat pengelolaan yang berada di pulau jawa maka pemerintah pusat memprioritaskan Provinsi Maluku untuk pembangunan fasilitas dimaksud,” jelas nya.
Menurut Siauta, limbah B3 medis dari fasyankes yang diproses di dalam insinerator adalah barang atau sisa hasil kegiatan yang tidak digunakan kembali yang berpotensi terkontaminasi oleh zat yang bersifat infeksius yaitu masker bekas, sarung tangan bekas, perban bekas, tissue bekas, plastik bekas, minuman dan makanan pasien, alat suntik bekas, set infus bekas, alat pelindung diri bekas, obat kadaluwarsa, bekas kemasan obat dan lainnya yang berasal dari ruang pelayanan di UGD, ruang isolasi, ruang ICU, ruang perawatan dan ruang pelayanan lain.
Lebih lanjut jelas Siauta, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang cipta kerja, setiap usaha dan atau kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan wajib memiliki dokumen lingkungan, dengan demikian terhadap rencana pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 medis yang ada Provinsi Maluku wajib dilengkapi dokumen lingkungan, seluruh dokumen baik pengelolaan limbah maupun bangunan sudah memenuhi persyaratan.
” Dalam konteks keterbukaan informasi kepada masyarakat telah dilakukan sosialisasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku kepada masyarakat pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 2021 bertempat di Kantor Desa Suli , sedangkan terkait soal pencemaran udara Lokasi jauh dari pemukiman warga,” jelas Siauta ( OX 99 )

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!