Metro Times (Magelang) Indonesia sudah 74 tahun merdeka. Hiruk pikuk memperingati kemerdekaan kemerdekaan RI membahana di seluruh penjuru nusantara. Rakyat Indonesia memperingati dengan banyak cara. Ada dengan upacara, lomba, menghias desa, lampu kerlap kerlip di sudut’sudut jalan juga tidak terlupa.
Anang Imamuddin, yang tidak lain adalah Panglima FA UIB (Front Aliansi Umat Islam Bersatu) Jateng-DIY dan sekaligus Tokoh Pemuda Magelang mengatakan, meski tidak sedikit yang bilang, kita baru merdeka dari penjajahan fisik teritorial tetapi masuk lagi dalam era kolonialisme modern yaitu “penjajahan” di bidang ekonomi, politik, budaya dengan tergerusnya kedaulatan-kedaulatan sebagai bangsa.
Apa pun masing-masing pendapat tidak mengurangi rasa syukur atas segala nikmat Allah SWT Tuhan YME kepada bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur. Para pendahulu berjuang angkat senjata untuk merdeka. Saatnya sekarang berjuang untuk mengisi kemerdekaan itu dengan karya nyata membangun bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan serta menjaga kedaulatan bangsa dari ancaman-ancaman disintegrasi bangsa dan pihak-pihak asing yang ingin menguasai Indonesia.
Anang juga mengatakan, Peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-74 tahun ini ada sesuatu yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pidato kenegaraan Prsiden Republik Indonesia di depan anggota DPR MPR RI tentang pemindahan ibu kota negara. “Dalam kesempatan yang bersejarah ini. Saya meminta doa serta dukungannya untuk memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke pulau Kalimantan”. Itulah penggalan sambutan Presiden Jokowi pada Pidato Kenegaraan pada Agustus 2019 ini.
Menurut Anang, kebijakan pemindahan Ibukota ini bukan barang baru. Karena, menilik sejarah bangsa ini ketika masa revolusi ada beberapa kali Ibukota Negara di pindahkan karena darurat. Pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta (1946) terus ke Bukit Tinggi (1948) dan kembali ke Jakarta lagi (1949). Dalam sejarah tidak ada pemindahan Ibukota Negara kecuali dalam keadaan darurat.
“Secara visi, pemindahan Ibukota Negara dengan tujuan pemerataan pembangunan dan keadilan teritorial bagus. Tetapi harus dengan kajian yang panjang serta mendalam. Pemindahan Ibukota Negara jangan hanya karena pencitraan politis tanpa disertai suatu perhitungan yang komprenhensif baik dari studi kelayakan, tata ruang, dampak-dampak sosial, ekonomi serta budaya dan tentunya konsekuensi biaya yang hampir 500 triliun di tengah kondisi bangsa Indonesia terpuruk oleh hutang yang menumpuk,” terang Anang Imamuddin, Kamis pagi (22/08).
Masih menurut Anang, Pulau Kalimantan memang cukup ideal menjadi alternatif pemindahan Ibukota, karena dirinya pernah keliling pulau Kalimantan dari ujung selatan sampai ujung utara perbatasan Malaysia. Lahan yang sangat luas memang menjadi syarat terbentuknya sebuah kota apalagi Ibukota Negara. Untuk sebuah Ibukota Negara dibutuhkan kurang lebih 300 ribu hektar baik untuk kantor Presiden serta para menteri-menterinya. Kalimantan juga berada di tengah-tengah Republik ini. Dari semua penjuru dapat terjangkau baik secara udara atau pun laut.
“Kembali ke masalah pemindahan Ibukota, perlu dikaji ulang segala sesuatunya. Jangan sampai hal ini akan membebani bangsa ini ke depan. Jakarta memang sudah cukup padat serta dari sisi kelayakan sudah mulai menurun. Tetapi ada sejarah panjang bangsa ini mulai dari perjuangan kemerdekaan sampai saat ini yang sudah di torehkan di Jakarta. Ibu kota negara adalah simbol identitas bangsa,” tambahnya.
“Kalau hanya sekedar pemerataan pembangunan bisa dengan menggenjot optimalisasi otonomi daerah serta menciptakan pusat-pusat pertumbuhan dan percepatan ekonomi di masing-masing daerah. Di sumatera ada Medan, Pekanbaru dan Palembang. Di Kalimantan ada Pontianak, Banjarmasin serta Balikpapan. Di Sulawesi ada Manado, Palu serta Makassar. Untuk deretan Nusa Tenggara ada Denpasar, Mataram serta Kupang. Sementara wilayah timur dapat menjadikan Ternate, Ambon, Sorong, Jayapura serta Merauke menjadi pusat pusat pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
“Saya berpendapat bahwa pemindahan Ibukota Negara saat ini belum tepat. Saat ini wacana itu boleh digulirkan, lebih baik lagi dirumuskan dalam GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara) yang mulai diwacanakan lagi sebagai ‘road map’ pembangunan Indonesia ke depan. Jadi, siapapun Presidennya, siapa pun Menterinya punya pegangan untuk membuat program kerja yang ada. Jangan sampai setiap ganti Presiden atau ganti Menteri arah pembangunan bangsa ini menjadi rancu dan tidak jelas arahnya,” tegas Anang. (Arif)