- iklan atas berita -

Metro Times (Semarang) Mantan Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag) Mahkamah Agung (MA) Fauzan, yang kini menjabat Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Sekretaris Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Dedy Sulaksono, diperiksa sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (23/7/2019).

Selain keduanya juga diperiksa dua saksi lagi. Yakni, Haizul Maarif, yang tidak lain menantu Ahmad Marzuki dan Radyan Widya Prananda, selaku pemborong atau rekanan yang membangun fasilitas PN Semarang. Keempatnya diperiksa atas perkara dugaan pemberian suap terkait putusan gugatan praperadilan, yang menjerat terdakwa Bupati Jepara nonaktif, Ahmad Marzuki dan hakim PN Semarang nonaktif Lasito.

Saat dicecar Penuntut Umum (PU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dihadapan majelis hakim yang dipimpin, Aloysisius Priharnoto Bayuaji, didampingi dua hakim anggota, Dr Robert Pasaribu dan Widji Pramajati, saksi Fauzan, mengaku pernah bertemu Ahmad Marzuki di ruangannya saat masih menjabat di Ditjen Badilag MA di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Marzuki bercerita terkait perkara uang Rp 60juta yang ditangani Kejati Jateng, yang sudah di SP3 (dihentikan). Terkait kasus itu, Marzuki menyampaikan dapat informasi dari orang kejaksaan bahwa SP3 mau dicabut, disitulah Marzuki menjadi risau, bahkan kalau bangun tidur terkadang jadi kaget. Akibat kasus itu, ia mengatakan ingin silaturahmi dengan Ketua PN Semarang.

“Baru saya minta ijin Dirjen ke Ketua PN Semarang, untuk silaturahmi, disana (PN) tujuannya ingin minta pendapat hukum, kalau bahasa Marzuki ingin silaturahim, terkait potensi kasus saya ndak berpikir sampai sana, karena waktu itu belum jadi kasus,”kata Fauzan.

ads

Dalam pertemuannya dengan Ketua PN Semarang, yang ketika itu dijabat Purwono Edy Santosa, Marzuki menyampaikan kerisauan seperti yang disampaikan ke saksi. Ia beralasan, menemukan dengan Purwono karena, basicnya pernah sebagai santri sehingga takdzim kepada kyai-nya yang tidak lain Marzuki. Dengan demikian permintaan ketemu Purwono karena permintaan Marzuki. Saksi juga mengaku, Marzuki tidak pernah menawarkan janji atau sesuatu kepadanya sama sekali.

“Waktu itu saya juga sudah minta izin ke Dirjen, tapi janjian resmi dengan Ketua PN Semarang ndak ada. Melainkan langsung ke Ketua PN Semarang silaturahmi, didalam ruangan saya ndak banyak bicara. Sepenegathuan saya, yang dibicarakan masih sama seperti yang diceritakan ke saya, terkait Rp 60 juta, baru masalah dapat bocoran akan dihidupkan lagi kasus SP3 itu,”bebernya.

Dalam pertemuan itu, lanjut Fauzan, inti yang ingin disampaikan adalah adanya bocoran akan dibukanya kembali SP3, maka mencari langkah-langkah hukum yang mesti dilakukan apa. Namun demikian, detailnya ia tak mengetahui akan langkah-langkah hukum itu. Disebutkannya, waktu itu Marzuki datang ditemani Agus Sutisna, anggota DPRD Jepara. Ia juga mengklaim, setelah pertemuan dengan Purwono tidak ada lagi komunikasi. Bahkan apa yang dilakukan dirinya juga tidak.

“Tujuan utama nemui KPN saya ndak tahu. Yang inisiasi ketemu Ketua PN Semarang ya beliau (Marzuki) sendiri. Bahasanya minta diantarkan dan dikenalkan, dia (Marzuki) ingin silaturahmi dan mencari tahu langkah-langkah hukum apa yang bisa dilakukan, terkait adanya bocoran itu,”sebutnya.

Sementara itu, saksi Dedy Sulaksono, mengaku pembangunan untuk proses akreditasi PN Semarang, memang ada diluar DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggara). Diantaranya ada pembangunan 2 gapura besi, rambu-rambu, banner-banner, papan petunjuk dan lainnya. Dalam percepatan akreditasi, disebutkannya, Lasito sebagai seksi umum dan secara lisan oleh Ketua PN Semarang saat itu Purwono Edy Santosa ditunjuk sebagai Ketua tim percepatan. Dijelaskannya, akresitasi saat itu Mei 2017 mendapat nilai B. Kemudian survelen Januari 2018. Namun Purwono ingin dipercepat agar mendapat nilai A.

“Waktu itu uang DIPA sudah habis, setahu saya yang biayai diluar DIPA pak Lasito yang sudah ditunjuk Ketua PN (Purwono), waktu itu Ketua PN juga menunjukkan gambar-gambar ke Lasito sehingga diminta dibuat seperti gambar,”jelasnya.

Seingatnya yang mengerjakan proyek itu adalah Dian (saksi Radyan Widya Prananda). Ia juga menyampaikan, diluar DIPA belum pernah dengar Ketua PN menyampaikan anggaran. Dikatakannya, untuk dapat akreditasi A, yang ia ingat Purwono menyampaikan terserah Ketua Percepatan atau Lasito.

“Yang diluar DIPA yang melaksanakan pak Lasito. Yang bertanggungjawab Ketua PN Semarang (Purwono), karena dia yang memerintahkan Lasito. Diluar DIPA saya ndak tahu, jadi kalau bukan saya yang melaksnakan saya ndak tahu,”kata Dedy Sulaksono menjawab pertanyaan Lasito.

Sedangkan, saksi Haizul Maarif, mengaku memang dirinya yang menyerahkan uang Rp 500juta diberikan ke Agus Sutisna. Uang itu ia masukkan ke kantong plastik. Uang tersebut sendiri sebelum diambil ada permintaan dari Marzuki. Sedangkan saksi, Radyan Widya Prananda, mengaku pembayaran yang tidak melalui sekretaris memang ada. Seperti pembuatan gapura besi, rambu-rambu dari besi, stiker-stiker, tulisan banner dan exbanner, dan sebagainya.

“Pembayaran langsung ke pak Lasito. Waktu itu ketua PN menunjukkan gambar-gambar, jadi beliau pengen seperti gambar. Habis bertemu Ketua PN saya diminta hubungan langsung seterusnya ke pak Lasito, seingat saya kurang lebih total habis sekitar Rp 22juta hingga Rp 25juta, uang diberikan dalam bentuk tunai semua dari Lasito,”jelasnya. (JON)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!