- iklan atas berita -

Metro Times (Purworejo) Kabupaten Purworejo merupakan wilayah dengan risiko tinggi bencana alam di daerah Jawa Tengah, mulai dari banjir, longsor, letusan gunung berapi, gempa, hingga tsunami. Di bidang pendidikan, para guru dan kepala sekolah perlu melakukan optimalisisasi pendidikan tanggap bencana dan bersinergi dengan masyarakat sekitar sekolah.

Hal itu terungkap dalam Seminar Pendidikan Kebencanaan 2020 yang berlangsung di SMPN 22 Purworejo, Jumat (28/2). Kegiatan digelar oleh SMPN 22 Purworejo bersama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Waku Pro Hijiyama University Japan.

Dalam seminar itu, puluhan peserta dari unsur kepala sekolah, guru, kepala desa, komite sekolah, dan siswa diajak untuk mendiskusikan persoalan bencana bersama 3 orang narasumber. Masing-masing yakni Dr Fujikawa Yoshinori (Peneliti dari Waku Pro Research Centre Hijiyama University, Hiroshima, Jepang), Dr Tuswadi (ilmuwan ALMI yang juga dosen Politeknik Banjarnegara), serta dr Agus Ujianto Sp Med (dokter RSI Banjarnegara).

Menurut Tuswadi, manusia tidak bisa menghindari bencana, tetapi mampu mengurangi risiko efek dari bencana. Optimalisasi guru atau kepala sekolah dapat dilakukan melalui pendekatan Pengurangan Risiko Bancana (PRB).

Beberapa di antaranya yakni memahami situasi sekitar, memahami ancaman bahaya dan kerentanan, menilai risiko bencana yag dihadapi, merencanakan tindakan pengurangan risiko, dan melaksanakan tindakan pengurangan risiko bencana.

ads

“Dalam PRB ini ada proses memantau proses dan menilai hasil pengurangan risiko,” katanya.

Diungkapkan, sasaran utama sekolah aman bencana adalah melindungi peserta didik, guru, dan tenaga kependidikan lainnya dari risiko kematian dan cidera di sekolah. Selain itu, merencanakan kesinambungan pendidikan dalam menghadapi bahaya yang diperkirakan.

“Selanjutnya memperkuat ketangguhan warga atau komunitas terhadap bencana melalui pendidikan serta melindungi investasi di sektor pendidikan,” ungkapnya.

Sementara itu, pembicara asal Jepang, Fujikawa Yoshinori, membeberkan metode untuk mengantisipasi dan menanggulangi bencana seperti yang telah membudaya di Jepang. Metode itu cukup sederhana, yakni adanya sinergitas mulai dari individu, lingkungan tingkat desa, kecamatan, hingga pemerintah pusat.

“Orang jepang hanya menerapkan 3 metode, yakni dimulai dari individu yang sadar untuk melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Lalu bersama-sama lingkungan sekitar seperti desa dan kecamatan atau kelurahan melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Mereka saling bersinergi bersama pemerintah,” sebut Fujikawa melalui juru bicaranya.

Menurutnya, secara geografis karakter Jepang dengan Indonesia sangat mirip. Sama-sama terbentuknya gunung berapai dari geseran lempengan bumi dan sama-sama negara kepulauan.

“Maka bencana-bencana yang terjadi juga sangat-sangat mirip,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala SMPN 22 Purworejo, Drs HM Agus Wiwoho Suryo MMPd, menjelaskan bahwa seminar kali ini menjadi bagian program ALMI yakni Scientist Goes to School atau Ilmuwan Bertemu Siswa yang telah dilaksanakan sejak 2016. Di SMPN 22, selain terkait kebencanaan, seminar juga diarahkan untuk mewujudkan sekolah ramah anak seperti yang telah dicanangkan Dindikpora belum lama ini.

“Kita ingin lingkungan sekolah selamat dari bencana dan ramah anak,” jelasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!