- iklan atas berita -

 

MetroTimes (Surabaya) – Sidang pemeriksaan pokok perkara antara Setiyawan melawan CIMB Niaga dengan nomor perkara 276/Pdt.G/2023/PN Mlg terkait kasus piutang yang di cessie kan dengan cara yang tidak sesuai prosedur dan cacat hukum telah memasuki babak baru. Sidang yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Malang pada 14 Maret 2024 lalu tersebut telah memasuki tahap pembuktian dan pengambilan keterangan ahli.

Setiyawan yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya, Anthonius Adhi Soedibyo, S.H., M.Hum., Michael Sugijanto, B.A., S.H., M.H., CLA., dan Yuvina Ariestanti, S.H., M.H., menghadirkan dua saksi ahli yakni ahli kontrak, Dr. Ghansam Anand, S.H., M.Kn. dan ahli perbankan, Dr. Nurwahjuni, S.H., M.H., keduanya dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Anthonius Adhi mengawali dengan mengajukan pertanyaan kepada Dr. Ghansam mengenai keabsahan suatu perjanjian.

Dr. Ghansam menerangkan, “Untuk memenuhi suatu syarat sahnya perjanjian terdapat pada pasal 1320 BW yang mana dalam pasal tersebut terdapat 4 syarat yaitu, (1) Kesepakatan Para Pihak, (2) Adanya kecapakan Para Pihak, (3) Suatu Objek tertentu atau dapat di tentukan, dan (4) Causa yang di perbolehkan.”

ads

Dr. Ghansam menerangkan, atas sebuah perjanjian yang dilakukan perubahan, perubahan tersebut harus disampaikan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini tertuang dalam pasal 1338 ayat (2) BW yang menyatakan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik dan diubah selain dengan kesepakatan para pihak yang membuatnya atau ada alasan-alasan yang cukup untuk itu oleh undang-undang. Sehingga apabila ada perubahan yang akan terjadi pada sebuah perjanjian, perubahan tersebut haruslah didasari oleh kesepakatan bersama.

“Menjadi aneh apabila sebuah perubahan atas perjanjian tidak pernah ditunjukan atau dijelaskan kepada salah satu pihak dan lalu diarahkan untuk tanda tangan. Atas sebuah perjanjian perubahan (addendum) dapat diajukan pembatalan apabila tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian,” tambahnya.

Perubahan atas sebuah perjanjian haruslah disepakati oleh kedua belah pihak dan baru akan diakui apabila para pihak menandatangani perjanjian tersebut. Apabila tidak ada penandatanganan dari para pihak maka hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai suatu perubahan sehingga tidak perlu diajukan pembatalan karena pada dasarnya memang perubahan tersebut tidak pernah mengikat.

Terkait dengan addendum, Michael Sugijanto menanyakan terkait konsekuensi hukum dari addendum yang dilarang oleh undang-undang. Dr. Ghansam menjelaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1337 BW menyatakan suatu sebab yang dilarang apabila dilarang oleh undang-undang, hal ini harus dibaca sebagai peraturan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Sehingga apabila ada perubahan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka perubahan tersebut akan batal demi hukum.

Dalam hal perjanjian maupun addendum tersebut dibuat sebelum lahirnya undang-undang yang melarang perjanjian demikian, perjanjian tersebut tetap dianggap berlaku hingga batas waktu saat peraturan yang melarang tersebut dibuat, karena peraturan tidak berlaku retroaktif atau tidak berlaku surut. Akan tetapi, apabila perjanjian yang dibuat sebelum adanya peraturan itu tetap masih dilaksanakan dan pelaksanaan perjanjian tersebut bertentangan terhadap peraturan tersebut maka perjanjian tersebut harus disesuaikan. Jika tidak, maka perbuatan yang dilaksanakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan sebuah bentuk pelanggaran hukum.

Mengacu pada apa yang dialami oleh Setiyawan, Yuvina Ariestanti menanyakan mengenai pendapat Dr. Ghansam atas sebuah perjanjian kredit yang tidak memuat ketentuan pelaksanaan cessie, padahal POJK nomor 22 Tahun 2023 (POJK 22/2023) telah mewajibkan klausul tersebut dimasukan dalam perjanjian kredit.

Dr. Ghansam menjelaskan, berdasarkan POJK 22/2023 pengalihan hak tagih ke pihak lain wajib dicantumkan dalam perjanjian kredit atau pembiayaan serta diberitahukan dan disetujui oleh konsumen. Dalam hal ketentuan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian pokok atau perjanjian kreditnya dan hanya dimasukan dalam lampiran atau syarat umum dalam kontrak, maka Debitur dikhawatirkan tidak akan memahami kewajiban dan haknya.

Akibat hukum apabila ketentuan ini tidak dicantumkan namun tetap dijalankan, maka tentu Perjanjian itu melanggar peraturan perundang-undangan. Apabila kontrak tersebut dilakukan perubahan namun klausul mengenai pengalihan tidak dimasukkan, maka dari sisi formalitas kontrak ini batal demi hukum. Selanjutnya, apabila ternyata kreditur mengalihkan hak tagihnya kepada pihak ketiga, karena hal tersebut berasal dari kontrak yang batal demi hukum maka tindakannya juga harus dibatalkan.

Dr. Ghansam menambahkan, perjanjian kredit haruslah dilakukan secara tertulis, baik perjanjian pokok, Syarat Umum Kredit (SUK), dan perubahannya.

“Perjanjian kredit yang diwajibkan dilakukan secara tertulis maka perjanjian perpanjangan yang dilakukan secara lisan itu haruslah dituangkan secara tertulis, apabila tidak dilakukan secara tertulis maka dianggap tidak pernah ada perpanjangan tersebut. Apabila ada perpanjangan yang dilakukan secara lisan maka hal ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka dianggap tidak boleh ada perpanjangan itu. Apabila memang itu adalah perintah karyawan bank maka bank ini salah dalam melakukan tindakan perjanjian kredit, maka kesalahan bank tersebut tidak boleh dilimpahkan kepada nasabah,” jelasnya.

Selanjutnya, giliran Dr. Nurwahjuni yang dihadirkan untuk menjelaskan perihal hukum perbankan, sebagaimana keahliannya.

Mengenai prinsip kehati-hatian, Dr. Nurwahjuni menerangkan bahwa prinsip sendiri adalah dasar-dasar pemikiran yang melatarbelakangi terbentuknya suatu peraturan, sehingga prinsip ini pasti abstrak dan harus diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Alasan mengapa bank harus mengutamakan prinsip kehati-hatian karena secara rasiologisnya Bank bekerja dengan uang Masyarakat sehingga yang dikelola adalah uang Masyarakat begitupula dengan uang yang dipinjamkan kepada kreditur nasabah. Oleh karena itu bank haruslah hati-hati karena keamanan dan kenyamanan dana simpanan-lah yang harus diutamakan oleh bank.

Anthonius Adhi menanyakan perihal kolektibilitas, dimana Dr. Nurwahjuni menjelaskan, “Kolektibilitas adalah Tingkat kelancaran penagihan yang dibagi menjadi lima yaitu (1) lancar, (2) dalam perhatian khusus, (3) kurang lancar, (4) diragukan dan (5) macet. Terkait permasalahan tersebut bank mengetahui pada Tingkat berapa permasalahan ini karena bank mengawasi. Hal itu merupakan kewajiban bank untuk mengawasi semua kredit yang telah disalurkan dan bank cenderung untuk tidak jujur atas kolektibilitas ini.”

Dr. Nurwahjuni menyatakan bahwa pada setiap penyaluran kredit, bank harus menyiapkan dana Cadangan untuk lancar saja 1 persen, perhatian khusus 5%, kurang lancar 15% , diragukan 40% , dan macet 100%. Bank cenderung tidak jujur dengan keadaan ini karena apabila bank jujur dengan keadaan yang sebenarnya, maka bank harus menyiapkan dana cadangan yang cukup besar. Hal ini juga disembunyikan untuk penilaian kesehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mana semakin banyak masalah pada suatu bank semakin tidak bagus.

“Apabila sampai ada Debitur yang lancar bayar namun di KOL 5 kan, maka hal itu malah merugikan bank karena harus menambah dana cadangan dan penilaian OJK jadi tidak bagus. Jadi, ada apa dengan bank tersebut? ” jelas Dr. Nurwahjuni menjawab pertanyaan dari Anthonius mengenai kasus yang dialami Setiyawan.

Mengenai syarat-syarat tingkat kolektabilitas, Dr. Nurwahjuni menerangkan kriteria tersebut ada dalam Peraturan OJK (POJK) yang pada pokoknya kriteria macet baru dapat digunakan ketika tidak adanya setoran selama 180 hari dan masih banyak kriteria lainnya. Ditiap tingkatan kolektibilitas terdapat beberapa kriteria tersendiri untuk seseorang bisa dinaikkan status kolektibilitasnya

Dr. Nurwahjuni merasa aneh ketika mendengar bahwa terdapat praktek dari pegawai bank yang mengarahkan Debitur untuk melakukan setoran melalui rekening escrow, bukan lagi melalui rekening koran. Alasannya adalah apabila setoran Debitur dimasukan ke dalam rekening escrow, Debitur akan dianggap tidak bayar atau menunggak. Apabila bank tidak mempunyai tujuan tertentu maka seharusnya uang yang ada pada rekening escrow itu langsung dipindahkan ke rekening koran Debitur.

“Atas dasar tersebut seharusnya nasabah telah membayar namun dianggap menunggak karena uang ditampung pada rekening escrow, sehingga Debitur berhak untuk menuntut pada bank untuk nama baiknya dipulihkan karena laporan kolektibilitas yang jelek karena dianggap menunggak. POJK 22 Tahun 2023 menyatakan bahwa bank haruslah memberikan data yang benar, akurat, mudah diakses dan tidak menyesatkan. Maka dengan diperintahkannya pembayaran melalui rekening escrow bank telah melanggar bahwa ada data yang tidak benar, tidak akurat dan menyesatkan bagi nasabah,” jelasnya.

Terkait SUK yang baru bisa didapatkan oleh Debitur sesudai perjanjian kredit ditandatangani, Dr. Nurwahjuni menyatakan bahwa SUK tersebut tidak mengikat. Seharusnya ditunjukan terlebih dahulu, baru ditanda tangani karena SUK sebagai bentuk itikad baik dari bank.
“Pernyataan mengenai ‘bank menganggap bahwa Debitur seharusnya tahu perihal SUK’ tidak mengikat. Baru akan mengikat setelah dibacakan dan dilihat. Kalau ‘dianggap’ ya belum tentu benar,” jelas Dr. Nurwahjuni.

Perihal SUK yang ‘sulit’ diakses oleh Debitur, Dr. Nurwahjuni menyatakan SUK merupakan suatu kesatuan dari perjanjian kredit, hal ini menjadi aneh apabila SUK harus diambil di kantor notaris, sehingga hal ini menandakan adanya pelanggaran terhadap kewajiban bank yang harus mudah diakses oleh nasabah sebagaimana diatur dalam POJK 22/2023. Kemudian perihal notaris ini, harus dipastikan terlebih dahulu SUK dalam bentuk apa. Apabila dalam bentuk perjanjian kredit tentunya SUK harusnya di tanda tangani oleh debitur dan bank, apabila tidak ditanda tangani maka berarti itu bukan merupakan suatu perjanjian dan tidak mengikat.

Mengenai kedudukan cessie yang tidak dimasukkan ke dalam perjanjian kredit, menurut Dr. Nurwahjuni, POJK telah mengatur cessie haruslah dimasukkan ke dalam perjanjian kredit, sehingga apabila tidak dimasukkan ke dalam perjanjian kredit maka cessie tersebut tidaklah mengikat. Apabila cessie tersebut tidak diatur dalam perjanjian kredit maka baik debitur dalam kondisi lancar membayar ataupun wanprestasi bank tidak berhak untuk melakukan cessie.

Maka dalam hal membuat perjanjian kredit, SUK, dan melakukan cessie yang tidak sah dan bertentangan dengan POJK serta membuat kerugian bagi Debitur karena tidak mendapatkan akses informasi karena salah satu perjanjiannya ada di notaris terlebih lagi membebankan biaya untuk mendapatkan akses tersebut dibebankan kepada Debitur, menurut Dr. Nurwahjuni bank telah melanggar hukum. Namun semuanya dikembalikan kepada OJK sebagai pengawas bank.
Agenda selanjutnya merupakan bukti tambahan dari semua pihak baik yang akan dilaksanakan pada hari Selasa, 19 Maret 2024, setelah itu akan dilanjutkan dengan kesimpulan dan putusan.

(nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!