- iklan atas berita -

 

MetroTimes (Surabaya) — Sekarang kita sudah memasuki bulan Agustus, sebentar lagi kita akan merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75. Sudah sepatutnyalah kita semua warga Surabaya mengenang beliau para pahlawan, mengenang jasa beliau, dan mendoakan almarhum agar beliau memperoleh tempat terbaik di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Siti Anggraenie Hapsari yang akrab disapa SAH, sebagai calon wakil Wali Kota Surabaya 2020, yang mendampingi MA. Mengambil moment Hari Raya Idul Adha dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan berziarah ke makam Tokoh NU, Ridwan Abdullah yg menciptakan Lambang NU.

Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban dengan Hari Kemerdekaan mempunyai makna yang sama, merelakan kepentingan diri sendiri demi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Seorang ulama yang memiliki ilmu agama yang tinggi, tapi juga memiliki sejumlah keahlian. Di antara ulama yang memiliki keahlian khusus adalah KH Ridhwan Abdullah. Beliau adalah seorang ulama yang tidak menguasai ilmu agama tapi juga pandai dalam melukis.

ads

KH Ridwan Abdullah lahir di Kampung Carikan Gang I, Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan Surabaya pada 1 Januari 1884. Ayahnya bernama KH Abdullah. Pada awalnya, Kiai Abdullah menyekolahkan Ridwan ke sekolah Belanda.

Pada 9 Oktober 1927, para ulama dan kiai NU menggelar Muktamar NU kedua di Surabaya. Pada muktamar inilah, warga NU pertama kali melihat lambang NU yang dipasang tepat pada pintu gerbang lokasi acara di Hotel Peneleh Surabaya. Lambang NU tersebut dibuat oleh Kiai Ridwan.

Kiai Ridwan menjelaskan, tali yang terdapat di dalam lambang NU tersebut melambangkan agama. Sedangkan tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan umat Islam seluruh dunia.

“Kiai Ridwan dapat dikategorikan sebagai kiai intelektual. Pergaulannya tidak hanya dengan para ulama, tapi juga dengan tokoh nasionalis seperti Bung Karno, dr. Sutomo, dan H.O.S Tjokroaminoto. Bahkan, hubungannya dengan pra tokoh tersebut cukup erat,” terang SAH disela-sela acara ziarah ke makam KH Ridwan Abdullah.

Lebih lanjut SAH menyampaikan ketokohan KH Ridwan Abdullah, untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Kiai Ridwan juga ikut bergabung dalam barisan Sabilillah. Pengorbanan Kiai Ridwan di zaman kemerdekaan ini sangatlah besar. Bahkan, salah satu putranya yang masuk dalam keanggotan Pembela Tanah Air (PETA) gugur di medan perang saat melawan tentara penjajah.

Pada 1948, Kiai Ridwan pun ikut memanggul senjata dan berperang melawan penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, Kiai Ridwan dan pasukan Sabilillah terpukul mundur hingga ke Jombang.

“Kiai Ridwan juga merupakan salah satu ulama yang mengusulkan agar para syuhada yang gugur dalam peristiwa 10 November 1945 untuk dimakamkan di depan Taman Hiburan Rakyat (THR), yang kemudian dikenal sebagai Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa,” jelasnya.

“Dengan berziarah ke makam tokoh agama dan budayawan kesenian, kita bisa mengambil suri tauladan dari para tokoh ini. Contoh yang baik, yang pantas ditiru oleh kita penerus bangsa,” ungkap SAH yang prihatin dengan kondisi bangsa yang merosot Jatidirinya.

Setelah berziarah ke makam KH Ridwan Abdullah, SAH juga ziarah ke makam Gombloh, seorang penyanyi legendaris Indonesia.

Sementara Remi Wicaksono, anaknya Gombloh yang memiliki nama asli Soedjarwoto, menyampaikan, saya mewakili keluarga almarhum Gombloh, yang pasti bangga dan berterima kasih, karena masih ada orang yang mau peduli, dan ada orang yang mengingat nama almarhum.

“Saya kemarin mengapresiasi ada orang yang seperti ibu SAH yang mau datang untuk ziarah ke makam bapak saya. Kita terbuka, siapapun yang mau ziarah, silahkan. Sekarang jarang ada orang yang perhatian, ya mungkin orang-orang tertentu yang mengingat nama almarhum Gombloh,” ungkap Remi.

Apa lagi dari kalangan politik, orang-orang dari bu SAH yang lainnya berapa saja yang tahu nama Gombloh.

Menurut saya di Surabaya kesenian di pandang sebelah mata, maksudnya tidak ada yang menghiraukan. “Seniman-seniman di Surabaya, kalau dibandingin kota-kota lain mereka ada yang mendukung dan mengayomi dari orang-orang atas, kalau di Surabaya kebanyakan mereka bergerak sendiri akhirnya,” ujarnya.

Remi menambahkan, dari pemerintah kota kurang mengayomi, contohnya kayak dulu makamnya WR. Supratman di daerah Rangka, itu sebelum di renovasi orang tidak ada yang tahu itu makam siapa. Setelah ada dari teman-teman seniman dan yang lain, akhirnya baru di renovasi. Jadi orang baru tahu o disini makam WR. Supratman.

“Harapannya seniman-seniman di Surabaya, bisa lebih diperhatikan pemerintah, karya mereka, mungkin kehidupan mereka seperti apa. Selain mengayomi dan mendukung seniman, pemerintah juga diharapkan melihat juga keluarga seniman, agar ada bibit penerus,” harapnya.

“Mungkin dia sekarang tenar punya nama, setelah dia meninggal orang sudah lupa, keluarganya juga ya sudah dia sudah tidak ada, kebanyakan seperti itu. Jadi tidak ada timbul bibit baru untuk penerus, kurang perhatian,” pungkas Remi Wicaksono. (nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!