- iklan atas berita -

 

Metro Times (Surabaya) — Covid-19 memaksa pemerintah untuk meniadakan kegiatan belajar mengajar di sekolah, untuk menghindari penyebaran Covid-19 terhadap anak-anak sekolah. Sehingga kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di rumah menggunakan daring online.

Dr. Diana Rahmasari, M.Si., Psikolog. Ketua Jurusan Psikologi Universitas Negeri Surabaya (UNESA) mengatakan, karena tuntutan harus belajar di rumah pasti ada positif dan negatif. Kalau secara sikologis sebenarnya ini mereka rehat untuk rutinitas ke sekolah, yang belajar dilakukan dalam setting sekolah. Kalau belajar dirumah itu sebenarnya menjadi lebih santai, artinya mereka tidak harus dibatasi ruang geraknya, di bangku dan jamnya harus begini, kalau disekolah itu ada batasan-batasan secara khusus. Sedangkan dirumah mereka menjadi lebih bebas, lebih bisa mengatur sendiri, lebih bisa mengelola sendiri.

“Positifnya kalau anak itu tetap punya motivasi belajar yang bagus, kesadaran belajar yang bagus itu mereka akan bisa lebih mandiri sebenarnya. Karena mereka bisa lebih mandiri, maka mereka lebih bisa mampu mengeksplor kemampuannya. Itu diantara dampak positifnya,” kata Diana sapaannya, saat di wawancara melalui telepon di Surabaya, Jumat (10/4).

Lebih lanjut Diana menjelaskan, sedangkan dampak negatifnya memang nanti muncul kejenuhan. Berdiam diri dirumah tanpa kemana-mana (di rumah aja) akan jenuh, stress, bahkan nanti bisa jadi frustrasi yang muncul. Karena ruang gerak anak-anak juga terbatas, artinya mereka tidak bisa ketemu teman-temannya, tidak bisa melakukan aktifitas fisik secara bebas diluar rumah. Biasanya kondisi masuk sekolah mereka bisa ketemu temannya, bermain, bisa bergurau, bisa melakukan interaksi sosial seperti itu dan mereka juga bisa melakukan kegiatan lain diluar jam sekolah.

ads

“Dengan dampak yang panjang ini selain stress, jenuh, dan frustrasi itu tadi. Bahkan bisa jadi kalau orang tua atau wali murid tidak mampu ‘mengawal’ dengan baik, anak-anak bisa depresi, karena “aduh ruang gerak saya terbatas, jenuhnya itu loh”. Artinya aktifitas fisik, kontak interaksi sosial secara langsung tidak ada,” terang Diana yang juga sebagai Sekretaris Unesa Crisis Center.

Orang tua atau wali murid bisa memberikan pemahaman kepada anak bahwa tidak perlu kehilangan waktu; kehilangan kesempatan, untuk tetap melakukan interaksi sosial dengan teman tetap bisa online, misalnya wa ataupun medsos lainnya. Agar emosi negatif itu tidak muncul.

Orang tua harus kerja sama dengan anak untuk menciptakan kegiatan-kegiatan yang tidak bisa membuat mereka jenuh.

Menurut Diana, ada beberapa keluhan orang tua, bahwa bebannya anak-anak terlalu banyak, tuntutannya terlalu banyak, karena harus merekam ini; harus merekam itu; harus melakukan ini; harus melakukan itu, setiap aktivitas yang sifatnya life skills harus direkam tuntutannya harus online daring. Harus dikumpulkan timeline dari jam segini sampai jam segini, kadang-kadang tuntutan seperti itu juga bisa memberi stress kalau anak itu tidak punya kesadaran belajar yang tinggi.

Jadi jika anak punya kesadaran belajar yang tinggi, menumbuhkan kemandirian itu sebenarnya Challenge (tantangan) buat mereka, karena ada rasa tanggung jawab. Dan tugas orang tua mengajarkan anak untuk memaknai itu secara positif, appraisal secara positif. Semua itu berpotensi menjadi stress, tapi bagaimana cara individu memaknai interpretasi, mengappraisal sesuatu itu apakah positif apakah negatif, kalau negatif ya anak itu akan menjadi stress, muncul emosi-emosi negatif. Tapi kalau positif itu menjadi Challenge (tantangan).

Jadi ada konsep Eustress dan Distress.
Eustress berarti stres yang sifatnya positif. Memberikan efek menyenangkan (termotivasi, menikmati tantangan, dsb) bagi pelakunya, sedangkan Distress berarti stres yang sifatnya negatif. Memberikan efek tertekan (merasa terbebani, tidak nyaman, dsb) bagi pelakunya.

“Peran orang tua untuk mensupport, memberikan pemahaman, edukasinya yang benar, tidak menakut-nakuti. Intinya dilakukan learning home (belajar di rumah) itu disampaikan dengan baik secara positif. Kemudian support tetap memotivasi anak-anak, dan misalnya anak punya kesulitan pasti orang tua mendampingi, karena itu yang ideal,” ungkapnya.

“Sedangkan anak-anak yang sudah punya kemandirian dan kemampuan belajar yang bagus, maka orang tua cukup mengontrol. Tapi kalau anak tidak punya kemandirian, semangat atau motivasi belajar belum tumbuh dengan kuat, memang harus didampingi betul. Diharapkan orang tua punya variasi-variasi kegiatan bersama atau orang tua menciptakan variasi yang membuat anak tidak jenuh,” pungkas Diana. (nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!