- iklan atas berita -

 

MetroTimes (Jakarta) – Rancangan Peraturan Pemerintah Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat masih memerlukan beberapa perbaikan jika dilihat pasal-pasal yang bisa menguatkan kinerja KPPU.

Dr. Agus Riewanto, S.H., S.Ag., M.Ag, Pakar Hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengatakan, saya kira pasal itu memadai untuk KPPU, karena RPP ini turunan dari UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dimana didalam ketentuan dalam pasal 182 itu memang mengenai pengaturan persaingan tidak sehat itu diatur oleh pemerintah. Maka dimunculkanlah RPP ini selain mengacu kepada itu juga mengacu kepada UU No. 5 Tahun 1999 tentang persaingan usaha. Kalau dibaca konstruksinya di pasal itu sebetulnya copy paste dari UU 5 Tahun 1999. Jadi tidak baru sebetulnya RPP mengenai tugas dan kewenangan, tidak ada yang jauh berbeda.

Agus Riewanto menyoroti tentang Posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) yang di KPPU itu sebenarnya tidak kuat selama ini. Dia bukan Sekretaris Jenderal yang mana lazimnya di Komisi-Komisi Negara yang lain, karena Komisi-Komisi Negara yang lain itu Sekretariatnya itu Sekretaris Jenderal, dia Esalon 1, tapi di KPPU tidak, kalau dibaca di Undang-Undang. Dan itu tidak disinggung-singgu di pasal 36 itu, bahwa posisi Sekretaris Jenderal seperti apa ?

ads

Ia melanjutkan, mestinya KPPU itu dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal Eselon IA, karena dia punya kewenangan memfasilitasi pekerjaan KPPU di dalam penyelenggaraan yudikasi dan proses administratif menyangkut persaingan usaha tidak sehat.

Pegawai KPPU belum PNS, tidak seperti Komisi-Komisi Negara yang lain, seperti KPU, KPK, Komnasham itu pegawainya seluruhnya PNS di bawah Sekjen.
Itu yang belum disinggung dipasal itu. Menurut saya pasal itu perlu direvisi untuk memperkuat aspek yang kurang. Dari aspek Komisi sudah cukup baik. Putusan MK itu mengatakan bahwa menyangkut soal Sekjen apakah itu harus eselon 1 dan tidak, PNS atau tidak pegawainya itu tidak masalah konstitusional, itu masalah norma Undang-Undang, makanya di RPP ini sebetulnya diatur, pemerintah kan boleh mengatur masalah itu. Berani tidak pemerintah, mau tidak pemerintah membuat itu, yang selama ini memang kelemahan KPPU.

Pasal 12 RPP yang sangat rigit mengatur tentang pemberian sanski administratif berupa denda.

Sangsi seperti itu tidak efektif menurut saya, karena itu opsional. Kalau opsional tentu dalam hukum orang tentu akan memilih yang paling ringan, ketika ada ketentuan yang sama dia akan piling yang menguntungkan, kalau begitu tidak efektif sebenarnya.

Berdasarkan pasal itu, sanksi denda diberikan maksimal 50 persen dari total keuntungan sejak terjadi pelanggaran atau 10 persen dari penjualan sejak terjadi pelanggaran.

Menurutnya, pengaturan sanksi rigit itu menyebabkan KPPU akan kesulitan dalam melakukan penghitungan karena semua bergantung pada ketersediaan data dan KPPU tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyitaan.

“Bagaimana cara menghitung. Hakim atau majelis komisi tidak punya kapasitas untuk itu. Bagaimana cara hitung itu. Akan menjadi tidak arif dan bijaksana, seorang hakim atau penyelesai masalah putusannya harus valid dan bijaksana fleksibel saja jangan dibatasi, itu jadi hakim matematik kalkulator,” terang Agus Riewanto, Rabu (10/2/2021).

“Boleh jadi hukumannya denda 100 persen, sesuai bukti, boleh saja kan. Kalau 50 persen itu ukurannya dari mana atau 10 persen dari mana. Ukuran moralitasnya dari mana. Semua putusan hukum dasar utamanya moralitas,” terangnya.

Selain Pasal 12, dia juga menyoroti keberadaan Pasal 13 ayat 3 yang memberikan ketentuan penanganan perkara keberatan di Pengadilan Niaga minimal 3 bulan dan maksimal 1 tahun. Menurutnya ketentuan tersebut tidak ideal karena dalam sistem peradilan modern yang memberlakukan asas peradilan cepat.

“Ukuran ini tidak efektif dan berarti tidak ada kepastian hukum. Yang efektif buat sanksi yang bikin orang tidak banding,” ucapnya.

“Saat ini sudah ada sistem peradilan cepat sehingga tidak masuk di akal jika penanganan perkara terkait persaingan usaha harus diberi pagar diselesaikan minimal dalam 3 bulan. Logikanya tiga bulan buat apaa saja. Tidak efektif dan terlalu lama,” ujarnya.

Sementara itu, Dr. Oce Madril, S.H., M.H., pakar hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM) menyampaikan, di Undang-Undang Cipta Kerja tidak dijelaskan dan menurut saya lebih baik kalau itu diperjelas di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Dan RPP ini tidak bisa kita lihat hanya sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Cipta Kerja, karena RPP ini sebenarnya juga amanat dari melaksanakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Undang-undang larangan persaingan usaha yang tidak sehat.

Jadi unik memang peraturan pemerintah untuk KPPU ini karena dia tidak hanya soal tenaga kerja tapi lebih berat juga bagaimana melaksanakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang anti monopoli.

Oce Madril juga menyoroti pengaturan sanksi denda maksimal harus digunakan untuk menggambarkan titik tertinggi dari suatu sanksi, meski dalam penjatuhan putusan majelis komisi atau hakim seringkali tidak memberikan denda maksimal.

“Ini bicara denda maksimal belum tentu akan digunakan, tapi ukuran paling tinggi harus digunakan untuk menggambarkan paling tinggi. Jangan sampai denda paling tinggi terlihat ini masih moderat. Jadi ambang batasnya harus kita naikkan memang. Misalnya 50 persen dari penjualan nilanya. Itu kan bicara titik paling tinggi. Maka dalam kaitan itu, menurut saya masih logis dan masih rasional,” terangnya.

Dia pun menilai pengaturan tentang batas waktu penyelesaian perkara minimal 3 bulan dan maksimal 1 tahun pada Pengadilan Niaga merupakan suatu kerugian bagi pelaku usaha yang biasanya menerapkan prinsip sederhana, cepat dan mudah. (nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!