- iklan atas berita -

 

Metro Times (Surabaya) – Hari HAM Nelayan dan Masyarakat Sipil yang jatuh pada hari Minggu, 12 Januari 2020. Tokoh Surabaya, Sutjipto Joe Angga meminta pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap nasib nelayan.

SJ Angga mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan TNI yang merespon cepat mengusir kapal nelayan dan coast guard Tiongkok di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Ia melihat langkah itu sebagai upaya melindungi kedaulatan maritim Indonesia yang juga merupakan sumber mata pencarian para nelayan tanah air.

“Negara wajib melindungi dan mensejahterakan bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan dengan kebijakan yang pro dan menguntungkan nelayan di seluruh tanah air Indonesia,” ungkap Angga di Surabaya, Minggu (12/1/2020).

“Sejak kepemimpinan Susi, saya sampaikan agar pemerintah harus serius mencetak pengusaha baru di bidang kelautan. Saat ini upaya itu belum optimal, jadi hari ini momennya pemerintah bergerek ke arah sana,” tambahnya.

ads

Angga mengaku dirinya siap jika pemerintah meminta keterlibatannya memajukan kesejahteraan masyarakat nelayan dengan melakukan pembinaan secara masif dan pengembangan pengolahan produk hasil tangkap nelayan.

“Kita niscaya bisa lakukan inovasi di sektor hasil laut. Saya ingin sekali nelayan bisa menjual hasil tangkap mereka dengan bentuknya yang sudah diolah, jadi harganya bisa lebih tinggi dan nelayan bisa dapat profit lebih besar,” jelasnya.

Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, menurut Angga, Pemerintah perlu memberdayakan masyarakat Indonesia agar mengoptimalkan potensi dan kekayaan lautnya.

“Nelayan bukan jenis pekerjaan kelas dua, tapi jenis pekerjaan utama yang prestis karena membutuhkan skill dan potensi pendapatan finansialnya sangat tinggi jika dikelola dengan baik. Di sinilah peran Pemerintah sangat besar,” kata pria alumni West College London, Inggris itu.

Masalah Nelayan Indonesia

Pada saat yang sama Angga merujuk pada “Our Ocean Conference” ke-5 yang diadakan di Nusa Dua, Bali pada bulan November tahun 2018,  yang memaparkan situasi nelayan Indonesia terkini.

Angga mengaku sepakat dengan temuan peneliti Katharine Jones dari Conventry University, Inggris mengenai kondisi nelayan Indonesia yang belum bisa keluar dari masalah klasik.

Berdasarkan wawancara dengan para nelayan perikanan tangkap dan pekerja pabrik-pabrik pengalengan di Indonesia, ditemukan beberapa permasalahan besar yang merupakan bentuk dari perbudakan modern.

Angga mengatakan, pertama adalah masalah upah. Para nelayan sering kali tidak mendapatkan upah mereka yang seharusnya karena adanya sistem bagi hasil.

“Nah, ini harus jadi priortas pemerintah,” tandasnya.

Masalah terbesar kedua, ada pada proses rekruitmen yang sering kali bersifat informal atau melalui calo. Para nelayan biasanya direkrut untuk dibawa ke tempat yang jauh. Para nelayan yang ditemukannya di Benoa, misalnya. Kebanyakan dari mereka berasal dari Tegal dan Nusa Tenggara Timur.

Untuk merekrut mereka, perusahaan memberi kasbon yang mencapai Rp 10 juta, tetapi Rp 6 juta-nya ditahan oleh calo agar nelayan menyelesaikan kontraknya. Akibatnya, para nelayan tidak bisa keluar dari pekerjaannya atau menegosiasikan hak-haknya.

Masalah ketiga, Angga melihat praktik penyelundupan manusia sudah merajalela di industri perikanan domestik. Para nelayan dari Indonesia tengah dan Indonesia barat dibawa ke Indonesia timur tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Pria yang dikabarkan akan maju dalam pemilihan Wali Kota Surabaya itu mendorong pemerintah, secara khusus Kementerian Kelautan dan Perikanan agar mengatasi masalah ini dalam skala prioritas.

Usaha Mencari Solusi

Angga mengapresiasi dan mendorong upaya penerapan tahap-tahap awal penelusuran ikan menggunakan teknologi. Ia juga ingin edukasi tentang rekrutmen yang etis tetap dilakukan, meskipun masih ada tantangan untuk menjangkau level dasar.

“Boleh juga kita belajar dari industri perikanan Thailand yang sudah lebih dulu mengalami skandal ketenagakerjaan,” usul Angga.

Selain itu, Angga juga mengusulkan agar pemerintah mengharuskan adanya perjanjian kerja laut tertulis yang ditandatangi oleh syahbandar sebelum kapal bisa menangkap ikan, dan sertifikasi keahlian bagi para nelayan.

“Kedua hal ini masih belum bisa berjalan maksimal mungkin karena belum ada penerapan sanksi yang tegas,” tutup Sutjipto Joe Angga di Hari HAM Nelayan dan Masyarakat Sipil. (nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!