- iklan atas berita -

 

Metro Times (Surabaya) – Dugaan pencurian listrik PLN yang dianggap merugikan PLN Rp 13,8 miliar, dengan terdakwa korporasi PT Cahaya Citra Alumindo (pabrik sendok, garpu dan pisau).

Kuasa hukum PT CCA (Cahaya Citra Alumindo), Rudolf  Ferdinand  Purba SH mengatakan, pertama kronologisnya pada bulan Oktober 2016, tiba-tiba ada pemeriksaan P2TL. Setelah beberapa waktu kemudian ada pemeriksaan dari PLN, kemudian ada dua meteran yang diambil.

“Bulan Oktober 2016 meteran yang besar atas nama PT CCA, kemudian pada tahun 2017 di ambil meteran kecil tanpa pelaksanaan P2TL,” ucap Rudolf.

“Pada saat pengambilan meteran kecil yang tanpa pelaksanaan P2TL itu, diambil dulu (berdasarkan keterangan saksi di persidangan) beberapa hari kemudian baru di keluarkan surat P2TL,” terangnya.

ads

“Seharusnya petugas PLN masuk dan isi data-data, tetapi hal itu tidak dilakukan. Karena itulah, KWH meter yang dibawa PLN dan diperiksa di laboratorium, itu tidak tahu milik siapa ?,” kata Rudolf   Ferdinand  Purba SH .

Sesuai aturan  Peraturan Direksi PLN  No 88 Tahun 2016, petugas lapangan PLN wajib  mengisi  surat pemeriksaan APP. Tetapi, faktanya, surat itu tidak diisi oleh petugas PLN.

Pelaksanaan P2TL harus melibatkan beberapa instansi termasuk dari kepolisian, kemudian semua Form P2TL harus di isi.
“Dalam kasus ini tidak mengisi form P2TL sama sekali, kemudian kami di tuduh merusak segel, dan plus didalamnya itu terdapat alat untuk memanipulasi meteran,” ucap Rudolf yang heran dengan kinerja PLN.

AMR (Automatic Meter Reading) Kwh meter merupakan alat ukur transaksi energi antara perusahaan penyedia tenaga listrik dengan pelanggannya yang disepakati oleh kedua belah pihak dan mendapat legalitas dari pemerintah.

“AMR yang mengetahui apakah klien kami bersalah atau tidak,” ucap Rudolf   Ferdinand  Purba SH

Data yang tercatat di AMR dikirim via modem, sebagaimana saksi ahli yang lainnya sampaikan di persidangan. Akan tetapi,  AMR bukan perangkat utama  KWH meter, namun merupakan perangkat  tambahan.

“AMR rusak sejak awal. Data AMR mulai mendekati pemakaian 0 sejak bulan Juni. Tetapi petugas  PLN datang pada bulan Oktober. Ada 2 data di KWH meter dan AMR itu,” kata Rudolf Ferdinand SH penuh keheranan.

Menurut Rudolf, tidak mungkin AMR mendekati nol (0). “Jadi, perusahaan tidak mungkin nol. Kalau mendekati angka nol itu, artinya perusahaan hanya bayar biaya beban Rp  59 juta. Faktanya, kami  bayar Rp 160 juta samapai Rp 190 juta per bulan,” cetusnya.

Dijelaskan Rudolf, bahwa pemakaian listrik perusahaan normal saja. “Kami tidak pernah bayar di bawah Rp 100 juta. Selalu bayar di atas Rp 160 juta. Jadi, pencurian listrik itu tidak pernah ada (di perusahaan kami-red),” ungkapnya.

Bahkan, untuk tambah 1 amper saja, perusahaan tambah bayar Rp 25 juta per bulan.

“Kata-kata nol amper, itu bisa mengakibatkan masyarakat mengira perusahan  tidak bayar lsitrik. Padahal, kami bayar selalu di atas rata-rata. Jadi, tidak ada  pencurian listrik itu,” kata Rudolf.

Diungkapkan Rudolf pada sidang kemarin, bahwa data riil adalah data yang tertera di KWH meter, bukan data berdasarkan AMR.  Karena menggunakan modem tambahan komunikasi.

Rudolf mengharapkan, majelis hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya atas perkara ini. Sebab, menyangkut nasib 200 karyawan yang menggantungkan hidupnya dari perusahaan sendok ini.

Jikalau diputus hakim, harus membayar denda sebesar Rp 13 miliar, perusahaan akan lepas tangan dan tidak bisa produksi lagi.   Pengenaan denda sebesar itu, PLN mendasarkan pada Peraturan Direksi PLN  No 88 Tahun 2016.

Padahal, mengacu pada Undang-Undang No 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan, maksimal denda sebesar Rp 2,5 miliar. (nald)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!