- iklan atas berita -

Metro Times (Purworejo) Upaya klarifikasi yang dilakukan oleh PT Adikarya Putra Cisadane (APC) selaku pelaksana proyek pembangunan tahap II Rumah Sakit Tipe C Kabupaten Purworejo tahun anggaran 2019 dinilai justru menguatkan adanya dugaan pelanggaran dalam proses lelang proyek tersebut.

Pasalnya, dalam jumpa pers yang dilaksanakan di Cafe Hotel Ganesha, Kamis (13/3), data pengalaman pekerjaan dari PT APC saat mengerjakan subkon proyek RS Bhakti Asih tahun 2016 yang diperoleh dari PT Pilar Cadas Putra (PCP) terungkap bahwa tidak dilaporkan ke Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional(LPJKN).

Pengakuan tersebut disampaikan oleh Direktur Utama PT PCP, Bambang Nugroho yang juga hadir bersama ketua pelaksana proyek pembangunan tahap II rumah sakit tipe C Kabupaten Purworejo dari PT APC, Slamet Riyadi.

Dalam pengakuannya, Bambang Nugroho mengaku tidak bersedia melaporkan pengalaman PT APC dalam proyek RS Bhakti Asih Jawa Barat tahun 2016 dengan dalih jika proyek dengan nilai besar itu dilaporkan ke LPJK maka PT PCP akan naik kelas dari perusahaan menengah ke perusahaan besar.

Sementara itu, Jaques Antonius Latuhihin, aktivis anti korupsi dari Sidoarjo Jawa Timur kepada Metro Times, Jumat (14/3) kembali angkat bicara menyikapi statemen yang di sampaikan dalam jumpa pers tersebut. Dikatakannya, dalam peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) nomor 3 tahun 2017 tentang sertifikasi dan registrasi usaha jasa pelaksana konstruksi pasal 63 disebutkan bahwa “usaha jasa perseorangan dan badan usaha wajib melaporkan perolehan pekerjaan dan penyerahan pekerjaan kepada LPJK penerbit TDUP dan SBU yang bersangkutan”.

ads

“Jelas dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hukumnya wajib. Maka jika PT Pilar Cadas Putra tidak menyerahkan laporan tersebut ke LPJK tentu akan timbul dugaan melakukan pelanggaran dan memiliki konsekwensi sanksi yang juga diatur dalam peraturan LPJKN nomor 3 tahun 2017,” terangnya.

Dikatakannya, yang menjadi pertanyaan adalah darimana PT PCP bisa mengambil kesimpulan bahwa pelaporan perolehan pekerjaan dan penyerahan kepada LPJK tidak wajib ? . “Disini patut kita pertanyakan kepada yang bersangkutan. Karena kewajiban mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memiliki konsekwensi sanksi berupa kategori ringan, sedang atau berat,” katanya.

Statemen dari Direktur Utama PT PCP tersebut bisa menjadi blunder bagi dirinya maupun perusahaannya serta Asosiasi Pengusaha dimana dia bernaung. Bahkan bisa berpotensi pada pelanggaran pidana bagi yang bersangkutan jika alasannya tidak mau lapor lantaran tidak ingin naik kelas menjadi perusahaan besar karena takut bersaing dengan perusahaan BUMN. Ini merupakan contoh tidak baik karena bisa menimbulkan iklim usaha yang tidak sehat.

“Yang kecil bisa naik menjadi perusahaan menengah dan yang menengah bisa terus berkembang menjadi perusahaan besar. Logika sederhananya kan begitu. Semua perusahaan ingin berkembang menjadi perusahaan besar. LPJKN bisa mengambil tindakan dan Aparat Penegak Hukum (APH) bisa masuk kesana untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran pidana,” tandasnya.

Menurutnya, potensi pelanggaran pidananya tersebut bukan lagi di peraturan LPJKN namun pada UU nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pada pasal 6, kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut, memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 sampai paling banyak Rp 10.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Itu pun berdampak pada Bukti Setor Pajak Jasa Kontruksi , karena Badan Usaha UMKM dengan Perusahaan Kategori Besar kemungkinan terdapat perbedaan Nilai Pajak.

“Konsekwensi hukum ketika setiap orang yang menguntungkan diri atau orang lain dengan mengaku atau memakai nama UMKM sehingga mendapatkan kemudahan termasuk dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa adalah adanya ketentuan pidana di pasal 40 dengan ketentuan pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana dengan paling banyak Rp 10 miliar,” tandasnya.

Dirinya juga menyayangkan adanya kelalaian dari Pokja yang kurang teliti dalam memeriksa berkas pada saat pembuktian kualifikasi hingga ke LPJKN untuk membuktikan keabsahan dokumen. Hasil laporan Pokja pun tidak serta merta menjadi hasil akhir karena yang bertanggung jawab adalah PPKnya yang bertanda tangan kontrak. PPK bisa saja menolak apa yang dilaporkan oleh Pokja. Dan realitanya PT PCP sengaja tidak melaporkan ke LPJKN dengan alasan yang tidak masuk akal seperti dalam keterangannya dalam jumpa pers tersebut..

“Karena ini pekerjaan sudah selesai mestinya persoalan ini bisa menjadi dasar bagi APIP yakni inspektorat untuk melakukan pemeriksaan. APH nantinya juga bisa memeriksa sampai kearah situ, kenapa Pokja maupun PPK tidak secara detail melakukan penelitian berkas-berkas persyaratan dalam proses lelang tersebut” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.

The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!